Monday, July 7, 2014
jatuh Bebas scene 2, Indonesian Warfare.
Ruang Rektor Akademi Angkatan Udara Revolusioner.
Seorang pria menatap dua taruna yang berjalan di kejauhan sementara berpapasan dengan seorang gadis mengayuh sepeda. Ia menghirup rokok kreteknya dalam dalam tanpa mempedulikan asap yang makin pekat dalam ruangan.
“kenapa Kolonel? Masih ingin kedua badut itu dihukum?” satu suara pria terdengar berat di seberang ruangan.
“tidak, sermatar Wawan dan Sermatar Surya. Dua badut itu cukup menderita selama disini. Apa yang Om Chris ketahui tentang dua badut itu?”
Brigadier General Christian Halohoan Warouw berdeham. “mungkin kau anggap badut, tapi Sermatar Surya adalah salah satu top dikelasnya. Kesehatannya tidak begitu bagus kemungkinan ia akan jadi perwira darat atau intelijen, sermatar Wawan Christo disisi lain tidak begitu cerdas namun ia adalah salah satu kandidat top disekolah pilot.”
“aku mau kedua badut itu di skuadron keponakan Om, si Aditya Warouw.” Sang kolonel mematikan rokoknya di asbak, “kenapa om Chris?”
“Kolonel Noordraven. Aku tahu kau selalu mencari pilot pilot baik, akan tetapi mereka berdua adalah material biasa. Mereka bukan top dan siswa sempurna kita punya banyak kandidat lain.. dan juga..”
“ya om tahu berapa tingkat korban di Legion, dan om tahu sebenarnya mengabdi di Legion adalah untuk para pilot bayaran, dan om sendiri tahu bahwa kebanyakan orang-orang Aurev sendiri tidak memandang legion sebagai bagian dari mereka. Begitu?”
Brigadier Chris Warouw terdiam, “aku tahu Noordraven, sedikitpun aku tak meragukan kemampuanmu. Tapi tolonglah pikirkan lagi, mereka berdua Cuma bocah!”
“kenapa Om? Ada yang mengganggu pikiranmu? Selama ini om tak pernah komentar ketika aku meminta sukarelawan untuk legion.. kenapa sekarang berbeda?”
Brigadier Chris menggelengkan kepala, “baiklah kolonel Noordraven, kau menang. Setelah Gala Dinner kelulusan mereka berdua milikmu.”
Kolonel papa Noordraven tersenyum, “terimakasih Om,” dan memberi salut sempurna, berlalu dari ruangan.
Kolonel Papa Noordraven menyusuri koridor dan keriuhan terdengar. Para kopral Taruna sedang mempersiapkan Gala Dinner kelulusan. Ia menuruni tangga dan mencari sudut terjauh dan menemukan sebuah ceruk kecil yang tidak ada siapapun. Tulisan diatasnya: KAFETARIA MOU.
Tanpa menoleh kemanapun ia mengambil asbak dan duduk. Membuka tas-nya dan mulai mencatat. Aurev dan Perang tidak memperlihatkan hasil yang bagus. Hampir dua tahun perang Kota Manado, Makassar, dan sekujur kota kota Permesta lainnya hancur dihajar AURI. ADRI melakukan perang gerilya dan raid sepanjang perbatasan jambi Sumbar, dan ALREVhanya melakukan operasi Ship Raiding melawan shipping di perairan indonesia. Logikanya berputar, pengalamannya selama bertahun tahun bertempur di Afrika, dan timur tengah mengambang. Aurev harus bertempur, akan tetapi kurangnya suplai pilot dan waktu latihan membuat Aurev hanya menjadi Angkatan Udara yang bertarung ala gerilya, terbang cepat lempar misil sesekali berduel dengan AURI, namun AURI memiliki pilot yang jauh lebih berpengalaman dan jam latihan lebih royal dan lama.
Legion Asing Aurev, atau Legion sendiri baru lengkap peralatannya dalam sebulan, sementara ia harus bisa memberikan hasil dalam tiga bulan. Ya tiga bulan sebelum proyeksi pemerintah pusat Jawa akan melaksanakan big Push di Sumatera. Artinya… ya ia harus bisa mengambil keunggulan di udara agar sebagian besar kekuatan jet tempur yang ada bisa ditransfer ke Front Barat.
Kolonel Noordraven menghela nafas berat. Seekor kucing berjalan diam diam mendekat kedalam dapur, dan kemudian berlari kabur diiringi teriakan seorang gadis. Gadis itu berlari keluar tanpa daya. Namun sang kucing sudah selesai memakan sepotong ikan tongkol. Well…
Diam diam
Kabur?
Kenyang?
Kolonel Noordraven tersenyum. Gadis itu mendekat sembari menggerutu, namun menampilkan senyumnya tertulus ketika melihat Noordraven duduk sendirian di pojok. Ia mendekat dengan kertas.. ditangan. “Siang Paps, makan apa hari ini?” jawabnya dengan suara agak tertahan namun lembut.
“aku sudah bertahun tahun makan disini dan kau masih tanya aku mau makan apa?” Noordraven berujar tanpa mengalihkan matanya dari kertas di meja. “dan berhentilah memanggilku papa, aku baru 26 tahun.”
Gadis itu hanya tertawa cekikikan, tertahan dan kemudian membesar. Kolonel Noordraven mengangkat wajahnya, menemukan gadis berwajah bulat, dengan mata sipit karena tertawa. Ia sangat manis, meskipun hanya dengan kemeja yang lusuh karena dipakai bertahun tahun dan rambut yang digelung kebelakang dengan menampilkan jidat putih yang menyilaukan. Mata segaris itu bertemu matanya…
“Raisa, apa yang kamu tertawakan?” kolonel Noordraven menghela nafas dan akhirnya tersenyum, “yasudah, seperti biasa, nasi, udang goreng, sayur, es kopi.”
“karena kalau aku tak tersenyum papa juga tidak tersenyum, wajahnya kaku, kering seperti kain lap.”
“karena senyummu bagus, harus begitu aku bilang hal yang sama berkali kali?” kolonel Noordraven tersenyum tipis, “tolong cepat ya, aku ada rapat setelah ini.”
“iya paps…” raisa berbalik menuju dapur. Kolonel Noordraven memandang gadis itu menghilang. Ia tak punya istri, anak ataupun keluarga. Satu satunya orang sipil yang ia akrab ya gadis ini. Raisa Fairunnisa, ia dan ibunya membuka kedai makan di Akademi Aurev. Kolonel Noordraven mengingat senyum raisa hari ini dan kembali menekuni dokumen.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment