Monday, July 7, 2014

Jatuh Bebas: Indonesian Warfare, Prologue



Dalam perjalanan Indonesia sejarah selalu berulang, dan kali ini pemilu melahirkan pemimpin lain. Seorang Ultranasionalis, Bhirowo Herusasongko yang naik tahta dengan dukungan para fanatic dan dibantu oleh sejumlah besar pengusaha konglomerasi local. Langkah pertamanya adalah menasionalisasi sejumlah besar asset asing yang ada di Indonesia.

Tindakan tersebut melahirkan kemiskinan baru dan pergantian penguasa sumberdaya dari asing menjadi negeri sendiri dan kemiskinan baru mulai menggantikan kemiskinan lama. Melahirkan bibit-bibit ketidakpuasan yang digilas dengan keji oleh sepatu lars tentara.

Tidak berapa lama, sejumlah besar pemimpin politik Sumatera Tengah dan Utara serta Sulawesi mendeklarasikan apa yang disebut Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia Perlawanan Rakyat Semesta/ PRRI PERMESTA. Tidak berbeda dengan pendahulunya gerakan politik ini dibekingi oleh para colonel dan politisi daerah. Didukung dengan sejumlah besar tentara yang membelot, sumberdaya rampasan mereka mulai memberontak.

Taktik kontragerilya tentara Jawa memang gampang ditebak. Bakar dan hancurkan. Akan tetapi pergeseran informasi konflik tidaklah sama seperti tahun 1950’an dan dunia dapat melihat apa yang menjadi sisi gelap operasi kontragerilya tentara pusat.

Dan pada tahun 2016, swedia adalah Negara pertama yang memberikan bantuan dan 40 orang pilot pertama AUREV atau Angkatan Udara Revolusioner lahir. AUREV memulai operasi melawan Tentara Pusat dengan jet Gripen, meskipun Gripen Samasekali bukan tandingan F16C dan Flanker-E milik AURI akan tetapi fleksibilitas operasi Gripen yang sanggup beroperasi di jalanan sekalipun membuat mereka bertahan.

Di tahun 2019, US mulai memberikan dukungan peralatan pada pemberontak, meskipun tetap melalui broker dan secara rahasia. Mereka menurunkan sebuah skuadron yang diisi para pilot tentara bayaran dari Negara yang juga berbahasa Indonesia, yakni Sommenesia dan Solnistan. Dua Negara yang dicabik perang sebelumnya. Sementara mereka memakai pesawat dari Negara lain untuk kerahasiaan. Yakni F15I Ra’am dari Israel. Para pilot tersebut diturunkan untuk menjadi pelatih bagi pilot Aurev lainnya.

Setahun kemudian Perancis memutuskan untuk menjual sejumlah besar peralatan lainnya pada pemberontak, jet Multifungsi yang tidak pernah laku dipasaran. Rafale B dan C diturunkan dengan diisi para pilot bayaran. Dan pada tahun 2020. Para pilot bayaran ini dilebur oleh Aurev dalam satu Wing Operasi tersendiri yang disebut IAVG. Atau International Aviation Volunteer Group. Terdiri dari

1. 7th Volunteer Tactical Air Squadron, diisi oleh 24 jet F15I Ra’am atau Strike Eagle. Dibawah pimpinan Kolonel Rolf Guenther Noordraven.

2. 1st Agressor Training Tactcal Air Squadron, diisi oleh 12 jet MiG-29 OVT, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Gede Agung Laksmana.

3. 3rd Volunteer Tactical Air Squadron, diisi oleh 24 jet F16D Soufa, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Prada Aditya Warouw.

4. 12th Transport Support Squadron, diisi oleh 5 tanker Airbus A-330 MRTT, 3 E-767 AWACS, 2 Dassault Phalcon JSTARS, dan 2 AC130H Spectre Gunship dipimpin oleh Brigadir General Xavier “Whiskey” Wishnuwardoyo



5. 21st Special Mission Battalion, diisi oleh 24 helikopter angkut, dan 16 heli serang plus dua kompi pasukan khusus untuk misi SAR dan operasi Khusus. Dibawah komando Mayor Peter Enrico Waworuntu.

dan.... demikianlah ketika layar latar terbuka.. medan cerita ditulis dan sejarah menulis...

No comments:

Post a Comment