Thursday, July 9, 2015

Joan of Arc Protocol



Hujan rintik rintik yang mulai turun dan dimana layar kisah beradu. Gelimpangan bangkai yang dahulu berwujud manusia berserakan sementara terpandang olehku di balik kacamata malam. Tidak ada yang bisa diambil lagi disini, tidak ada…
               
“alps!” seorang pria muncul dari belakang. Basah dan kedinginan.
                “yeps Mayor?”
                “status?”
                Alps mengeluarkan selembar kertas bernoda lumpur dan darah kering, membacakannya, “45 local guerilla tewas, Murshid tewas,  Whiskey luka parah, dia tidak akan bertahan sampai besok, Surya pahanya tertembus peluru, dan kita tinggal lima orang yang combat effective. Dari pihak gerilyawan tinggal 30 orang, itu termasuk Ratu, dan stafnya.”
                Dan aku hanya menghela nafas, dari 12 orang tinggal lima yang masih efektif. Dan pemberontak kini makin maju. “beritahu yang lain kita harus mundur.”
                “major!”
                Aku berbalik dengan kesal, “kenapa Alps?”
                “sang ratu menolak mundur, ia memerintahkan semua yang terluka untuk mundur, dia tetap bertahan.”
                Aku tak berkata apapun, hanya berjalan, menuju sebuah bunker yang menjadi markas darurat, dimana seorang gadis menutup luka seorang pria yang juga kukenal. Dua lubang di dada, tergeletak tak berdaya. “ratu! Mohon izin bicara!”
                “mayor, kau bisa bicara… tidak perlu minta izin.” Sang gadis menutup luka dengan ahli dan membalut dada itu dgn perban kain yang lusuh, “ini perban steril terakhir yang kita punya. Dan mereka bilang dia hanya punya waktu sampai nanti malam.” Ia menatap wajah pria itu yang kehilangan fokus antara sadar dan tiada. “bukankah aku sudah bilang siapapun yang tersisa untuk mundur dari sini?”
                “tidak tanpa engkau ratu..” jawabku
                “yang mereka cari adalah aku. Jika mereka memastikan aku mati disini kalian bisa hidup tenang. Dan kau mayor, bisa hidup dan mencari pekerjaan lain.” Sang ratu menatapku pertamakalinya. Mata kecil itu tetap memandang tulus. Dibingkai dengan wajah tirus berbibir tipis… kadang tak tersangka ia akan menjadi figur sentral dalam pemberontakan melawan pemerintah Fasis ini.
                “itu saja rat..bukan, Viny? Itu saja? Kau memutuskan mati? Jadi buat apa mereka bertempur untukmu! Buat apa? teriakku. Semua wajah memandang…
                Sang ratu hanya menunduk, seolah tak peduli dan menggunting sejumlah perban lainnya, “dan kemudian apa? Aku memilih tinggal agar kalian bisa hidup! Kalian jauh lebih berarti daripada…” ia terdiam mengumpulkan kata-kata, “kalian harus hidup, inilah satu satunya perlawanan ini bisa berlanjut. Aku hanya  simbol, dan kalian adalah nyawa dari pertarungan ini. Aku tinggal agar kalian bisa melanjutkan ini satu waktu di satu tempat.”         
                “tapi…”
                Viny tersenyum, “pergilah, ini perintah terakhir dariku.” Dan senyum tulus itu memutuskan semuanya. “ada beberapa orang yang kupilih untuk tinggal. Pesanku untukmu hanya satu. Jangan biarkan mereka menangkapku hidup-hidup.” Sang ratu menunjuk telpon satelit yang tergantung di bahuku, “Protokol Joan of Arc…ingat?”
                Ledakan berdentum, diiringi tempik sorak dan baku tembak menghebat. Sang ratu melambai menyuruhku pergi. Aku berlalu, namun sebuah tangan mencekalku untuk berlalu pergi, Kolonel Enrico, ia menyelipkan sepucuk surat di tanganku, “Bilang pada Lidya…” ia terbatuk,
                “ya aku akan katakan padanya. Jangan khawatir soal Lele juga” Aku mencabut pistol dari sabuk, meletakkannya ditangan yang tadinya menggenggam surat, “jangan biarkan mereka menangkapmu hidup hidup kolonel enrico!”
                Ia tersenyum lemah, “Der Opresso Liber!” mengokang pistolnya, dan mencabut baret hijau lusuh dari dalam saku celananya. Memasangnya untuk terakhir kalinya.
                Aku berlalu, menjawab lemah, “der Opresso Liberte! Pembebas yang tertindas.” Berlari menjauh bersama puluhan gerilyawan lainnya. Dari sudut mata terlihat tank-tank pemerintah mendekat tanpa ampun sambil menembakkan meriam dan para prajurit mereka berlari tanpa mempedulikan perlawanan para gerilyawan.
                Di sudut hutan sekitar 8 kilometer jauhnya. aku mencabut telpon satelit. Memutar dial, dan memasukkan kode. Protokol Joan D’arc… ia seorang gadis yang ditakdirkan melawan penindasan. Dan mati terbakar api untuk diangkat menjadi malaikat di surga. Ya…
                Aku memasukkan kode, dan menekan tombol merah… “selamat jalan sang ratu…” bisikku sembari mengenang gadis kurus yang selalu tersenyum walaupun sekeras apapun cobaan menyiksa. Selalu memberi alasan baginya dan orang yang percaya padanya untuk selalu bertempur.
                Telepon satelit tersebut aslinya adalah suatu detonator..menghubungkan aku dengan sebuah ransel seberat puluhan kilo yang tertanam jauh dibawah bunker. Begitu perintah diterima, sirkuit elektronik menyala, mengirimkan sinyal ke belasan detonator yang meledakkan diri, mengirim impuls ledakan ke lima kilogram isotop plutonium di tengah. Ledakan itu mengompres plutonium mendekati massa kritis dan ia bereaksi. Melepaskan jutaan watt energi berupa ledakan, panas dan radiasi sejauh lima kilometer, menghancurkan apapun yang menghalanginya.
                Aku memandang cendawan hitam itu… dan berlalu, menghapus airmata dan melanjutkan hidup.

Desperate Hope



Jakarta, hutan beton dengan hewan hewan berkaki dua mencari penghidupan. Gedung tinggi tanpa selera merajai pandangan dan itu semua menyimpan kedamaian semu. Dan para hewan selalu hidup seperti hewan, termasuk yang berkaki dua bernama manusia.  Mereka butuh makan, mereka butuh hidup, dan mereka butuh saluran nafsu.
                Dan disebuah hotel mewah di sudirman, dua tubuh berpacu dalam nafsu, saling berpagut dalam lumpur dosa. Bercampur baur tetes lendir berbau tajam dari seorang lelaki tua bertubuh besar dengan tubuh penuh codet, aliran tetes keringat nafsu membasahi, merembes merambati keringat berembun di tubuh sang gadis yang memancarkan aroma parfum mahal yang dilambari pelan pelan oleh aroma gairah yang mengalir, menarik siapapun dalam dosa.
                Kedua bibir berpagut, berciuman dengan kejam dimana sang gadis mencoba mengimbangi sebaik mungkin dimana sang pria tidak memikirkan apapun selain melampiaskan gairah yang tak terimbangi lagi oleh yang berhak ia nikmati. Tangan kasar merambati tubuh mulus dipenuhi cupang dan bekas gigitan sang gadis tergarap lama selama berjam-jam, tenggelam dalam desah dan erangan.  Sang gadis mencoba tersenyum namun yang terpandang olehnya hanya wajah ganas, tidak ada cinta, tidak ada rasa sayang yang harusnya terpancar ketika bercinta.
                Senyum palsu itu terusak oleh desah ketika kejantanan merobek mencoba mencari cara mengeluarkan santan dosa. Sang pria berwajah kasar menggeram sementara sang gadis yang tak bisa menahan serangan ditenggelamkan ombak kenikmatan. Kejantanan tercerabut dan santan dosa membasahi sang gadis, berhamburan kemana-mana, terutama menghantam wajah yang telah dilaburi bedak mahal dan make-up tertata selama berjam-jam.
                Pria itu bangkit sementara sang gadis bangkit menyapu wajahnya yg berlumur lendir dengan tangan. Senyum puasnya berganti seringai bengis, dan tangannya melayang menampar, “berapa kali kubilang? Bilang terimakasih!”
                Sang gadis hanya terisak, dan darah bercampur lendir berkumpul di sudut bibirnya, mengeluarkan suara perlahan, “terimakasih jenderal… terimakasih telah bercinta denganku..”
                Sang jenderal mendengus, menatapnya tajam, “kau Cuma sundal, tapi sulit berterimakasih padaku yang telah membayarmu dan memberimu kenikmatan?”  ia meraih dagu si gadis dan wajah oriental lembut itu memandangnya, “kenapa sulit mengatakan itu Naomi?”
                “maaf jenderal…” jawabnya bercampur isak tangis.
                Sang jenderal berlalu, dan melemparkan setumpuk uang. Lima belas juta rupiah tergeletak begitu saja. Ketika tetes air terdengar dari dalam kamar mandi, Naomi memasukkan uang kedalam dompetnya, menarik seprai membalut tubuh telanjangnya. Kain linen bernoda keringat itu memeluk ramah kulit putih khas blasteran sunda tiongkok yang membuat para pria tergila-gila menghambanya. Tapi tidak mencintainya.

                Kelip kelap semburat lampu-lampu gemerlapnya Jakarta menyapanya ramah. Memanggilnya sementara telapak tangannya menyentuh kaca hotel… entah mengapa hidupnya berenang dalam lumpur nafsu ia tak pernah lagi ingat. Sementara sayup sayup suara sang jenderal memakai busananya lagi terdengar. Naomi tidak memandangnya, ia membenci pria itu… namun siapalah yang peduli apa pendapat kupu kupu malam.

                Naomi mendengar suara pintu terbanting dan ia duduk, menyulut rokok putih dan membiarkan pikirannya berkelana. Ya, dan tak pedulikan lagi tubuh mulusnya tak tertutupi kembali oleh seprai linen bernoda…..


                “kak Naomi..” suara cadel itu terdengar. Dan mata terbuka, dan Naomi tersenyum memandangi gadis yang seolah dirinya dalam cermin. Hanya berbeda nasib dan dunia.

                “kenapa Sinka?”

                “pamit sekolah..” dan gadis itu menyalam dan mencium tangannya sebelum menghambur keluar dari pintu apartemen. Dan ruang itu kembali sepi, dan getaran ponsel terdengar… sebenarnya ia tidak ingin menerima tamu lagi malam ini, ia begitu lelah.

                Tetapi tamu ini bersedia membayar penuh di depan… dan Naomi melempar ponselnya ke kasur. Berlalu dan memilih baju…

Dan rambatan malam mencerca, menyelimuti langit berpolusi jakarta sementara hotel Mewah Melia mengangkangi pemandangan.  Naomi mengetuk pintu, dan seseorang membuka pintu. Seorang pria besar, memakai kemeja putih  menyambutnya. Samasekali tidak memandangnya, sebatang rokok dan tumpukan puntung rokok menggunung. Naomi meneliti wajah tamunya kali ini, bersih, sehat, namun ada yang salah.

                Ia memakai dan bersikap layaknya seorang pria kantoran biasa, namun tubuhnya terlalu tinggi, dan sehat, dan matanya.. seolah memandang jauh. Ia memandang Naomi seolah… ia tahu pandangan yang serupa.. sang Jenderal. Dan ia tahu apa yang harus ia  lakukan.

                Nao duduk di kasur menunggu apa yang akan tiba selayaknya seorang kupu-kupu yang baik. Namun pria itu tidak beranjak dari kursi dan rokoknya. Hanya memandangnya heran. Naomi mematut dirinya, apakah rambutnya berantakan? Apakah minidress yang ia pakai kurang menantang atau ada sesuatu yang memberikan kesan yang salah pada tamunya?
                “kenapa? Ayo?” Naomi memanggil dengan nada merayu memanja.
                Sang pria menghela nafas lelah, “aku membayar waktumu, bukan untuk tidur denganmu Nao. Ayo duduk disini, ada yang mau kubicarakan.” Ia menunjuk kursi di hadapannya.
                “tentang?”
                “dia..” sang pria melemparkan selembar foto, “aku hanya minta setelah ini, bila kau menerima panggilannya. Kau hubungi aku.” Kemudian ia melemparkan selembar amplop, “tigapuluh ribu US dollar, tanpa pajak. Untuk kerja kerasmu. Akan ada bonus untukmu ketika kau sudah mengerjakan apa yang kuminta.”
                Naomi memandang foto itu, foto sang jenderal, “buat apa?”
                “sang jenderalmu itu membantai ribuan orang ketika berdinas, puluhan lagi hilang tanpa jejak. Aku hanya ingin membayar kembali apa yang ia lakukan. Dengan bunganya.”
                Naomi hanya terdiam.
                “aku tahu, kau memikirkan keselamatanmu dan Sinka. Untuk itu ada bonus untukmu,” sang pria melemparkan sebuah amplop lagi, dan Naomi membukanya, sebuah paspor dengan lambang rajawali, “kewarganegaraan baru, identitas baru untukmu dan Sinka. Kau bisa tinggalkan negara ini dan hidup di seberang sana. Kau masih ingin kuliah bukan? Aku bisa berikan.”
                Naomi terdiam, mengambil semua yang diberikan. Dan mengemasinya.
                “bagus… kau boleh pulang, atau aku perlu panggilkan taksi?”
                Naomi tersenyum untuk pertamakalinya, “tidak… bolehkah aku tahu namamu?”
                “tidak.. aku tidak ada dan tidak pernah ada.”
                “baiklah, semoga kita bertemu lagi…”
                “tidak akan… goodluck Naomi, pakailah kesempatan keduamu.”
                Naomi berlalu, namun sebelum ia membuka pintu pria itu memanggilnya.
                “kenapa?”
                “kau kehilangan orangtuamu ketika kerusuhan lima tahun lalu. Jenderalmu, presidenmu sekarang, dan sebagian besar orang di angkatan bersenjata negeri ini tahu dan bertanggungjawab atas itu. Faktanya merekalah dalangnya. Jadi jangan merasa kehilangan.”
                Naomi membanting pintu dan berlalu.

Dan dua hari kemudian Naomi menerima panggilan dari sang jenderal, dan kini ia menuruni taksi di hotel yang biasanya. Namun ponselnya bergetar… dan suara sang pria terdengar.
                “jangan turun dari taksi.”
                “hah?”
                “jangan turun! Tutup lagi pintu taksi itu.” Naomi kembali menutup pintu.
                “karena?”
                “kau akan tahu..” telpon tertutup. Naomi memandang ponselnya dengan heran sebelum bumi bergetar dan kilatan cahaya terlihat disusul hujan batu dan pecahan kaca bersama potongan tubuh….
                Ia memandang keluar.. lantai dan kamar tempat ia biasa bersama sang jenderal kini tertutup asap tebal dan terlalap api.. sayup sayup diantara kepanikan ia melihat sang pria di seberang jalan, bersama seorang gadis bertubuh kurus. Naomi tidak membuang waktu dan pergi menjauh….

                “kau fikir ini akan merubah apapun Mayor?” sang gadis bertanya pada pria disebelahnya ketika Naomi berlari menjauh.
                “ini perang, semuanya memiliki efek.”
                “kau melakukannya untuk dia bukan?” si gadis menunjuk Naomi.
                “ayahnya adalah seorang pria yang baik, aku tidak, dan aku sedikit banyak yang menjerumuskannya dalam dosa ketika aku gagal menjemput ayah Naomi. Ia adalah seorang agen yang baik. Kalau tidak ada dia, kita tak tahu apapun mengenai rahasia pemerintahan fasismu.”
                “kau terlalu baik Mayor Noordraven.”
                “harusnya aku yg berkata seperti itu Ratu Vienny.” Jawab sang pria. Menikmati kekacauan dan wajah penuh teror hewan hewan berkaki dua yang menjauhi lokasi ledakan.

horor project

seorang lelaki terduduk di lobi sebuah hotel di bunderan HI, hotel mewah dan empuknya sofa menyangga tubuhnya yang kuat, namun juga lelah. Empatpuluh tahun hidup dalam sendiri dan sunyi hanya mencari materi tetapi tak dicintai. Ia menghirup rum yang disajikan bartender, membakar dan menumpuk dalam aliran darahnya. Ia tahu, alcohol membuat keberanian menjadi besar. Keberanian menjadi teraliri dalam sensasi artifisial yang ia tahu membawa angkara dan kebaikan pada saat bersamaan.

Ia memandang resah menunggu apa yang ia inginkan. Sementara seorang gadis muncul di ujung lobi , berpita biru dan bersepatu hitam sederhana dengan jeans biru dan kemeja biru muda yang bisa dikatakan lusuh. Membawa cinta yang ia pesan. Dalam ragu, ia bertanya keberanian apa yang ia lakukan kini. Ketika tawar menawar antara berapa cinta yang ia inginkan berapa yang harus ia bayarkan ia tak berfikir panjang, namun ketika bertemu siapa yang menarik hatinya dalam lembar lembar foto yang diajukan seorang mucikari, ia tak berfikir panjang dan langsung membayar.

Jebakan dalam lingkaran membius, namun dorongan jiwa tak tertahankan. Entah iblis apa yang merasuk ketika ia memilih cara ini. Tapi ia tak punya apapun, ia tak pernah dicintai, ia dibenci siapapun yang mengabdi dengannya. Pria itu memejamkan matanya, menolak memahami mengapa ia menabrak nilai dalam dirinya untuk hanya bisa dicintai. Dari kejauhan ia memandangi wajah itu, lembut, dengan mata kecil, hidung bangir mungil dan mata yang sayu. Tubuh kurusnya tak membuat siapapun berselera, namun… ada hal yang membuatnya ingin memiliki, walau hanya untuk…. Untuk sementara

Dan pria sang pria memejamkan matanya, menolak…. Menolak mengakui dirinya berbuat salah. Samar terdengar suara sang gadis, lembut memanggil.. seketika sukma meninggalkan orbit, hingga satu insting terlawan untuk berlari menjauh dan menyerah pada rasa malu. Mengandaskan apa yang terniat dalam diri untuk menyerah dalam pusaran nafsu.

“om?” dan pria itu membuka matanya, dan wajah gadis itu memenuhi pandangan

“kenalan  yuk… namaku Viny..” dan ia tersenyum, “namanya om siapa?” sembari tersenyum hingga matanya hilang…

ia menyebut namanya, dan entah mengapa sang pria TERPAKSA tersenyum

“lho, akhirnya oom tersenyum juga.. tadi seperti tegang begitu” ia menggandeng tanganku tanpa malu malu, menarikku keluar dari lobi. “senyum dong om, malu?”

“ya… seperti itulah.” Jawabnya asal. “kau tahu Viny, ini yang pertama aku…”

“tidak, om adalah tamuku, dan, kelihatannya om orang baik..”

Ketika sesampainya di depan pintu kamar….aku memandang kebelakang, dan terjadilah.

Viny memandang punggung lelaki yang berjalan didepannya, lebar dan lelah namun tetap tegak… sendirian, dan Viny tahu, ia benci pada hidup. Tak terterangkan oleh lagu apapun dalam hatinya yang berkarat.

“viny?” Tanya pria itu lembut namun tegas. “kenapa? Ada yang tak kau suka dari kamar ini?”

Sepi dan sepi hidupnya beradu, berjuang saling meraba sementara mereka bertatapan. “tidak, bagus kok om..”

“aku tidak memandangmu sebagai gadis panggilan, kau adalah temanku untuk malam ini, semalam ini saja. Semalam ini saja temani aku bukan karena uang, bukan karena kekuasaan, bukan karena apapun. Mau? Atau aku harus membayar lebih?”

Viny berjalan mendekat, memandangi pria didepannya lebih teliti, kemeja putih yang pria itu kenakan tak sanggup menutupi badannya yang keras, sementara mata itu memandangnya lembut diantara helai rambut-rambut yang mulai berkelabu satu satu. Namun ada yang terasa di dalam pandangan itu. Kesepian. Dan Viny juga kesepian hingga ia memilih jalan ini, kekerasan dalam rumah, terjebak dosa dan dibuang oleh keluarga dan temannya. Tak ditolong meskipun ia terjatuh dalam lembah ternoda.

Viny mengulurkan tangannya, “apa yang Om mau?”

“Viny…” sang pria meraih tangan itu, “temani aku malam ini..”

Viny menarik tangan pria itu, membenamkan wajahnya dalam dadanya, menelusuri tubuh itu yang berbeda dengan tubuh yang selama ini ia jamah, keras, semua yang ia sentuh hanyalah otot keras,,, namun dari pandangannya yang terlihat hanyalah sepi dan hampa, dan secercah kelembutan. Mata beradu dan…. Terhenti.

“kau tidak pernah menemukan pria sepertiku? Atau apa?”

“tidak om, Cuma… mungkin om yang menyentuhku dengan hati dan jiwa.” Viny mengecup lembut dahi pria itu, “bukan sebagai boneka atau pemuas saja…”

“kau tidak perlu memujiku,” ia berbisik sedih, namun Viny mengecup bibir itu lembut, merasakan aroma rum. Pertama pria itu tak membalas, hisapan lembut meraja diantara sela-sela bibir dan lidah Viny memasuki mulut sang pria tanpa permisi, mencari sesuatu. Tidak membalas, namun pria itu menariknya kembali, menciumi dahinya, mengadu hidungnya lembut yang membuat Viny tertawa geli untuk kemudian menciumnya kembali lembut dan memasuki mulutnya perlahan lahan. Dan sang pria memeluknya..menelusuri punggung viny lembut yang membuat darahnya naik ke kepala.

“om…” Viny terkejut saat wajah pria itu seolah bertanya apakah ia boleh membuka kancing kemeja Viny… dan ia menelusuri bahu Viny dengan jarinya lembut.. memandangnya penuh Tanya saat melihat bekas bekas kekasaran di tubuhnya, dan Viny hanya menggeleng. Pria itu mengangguk paham dan menyibak bra Viny. Menampilkan buah dada mungil sebesar apel yang kencang namun tertutupi sehingga menimbulkan kesan berdada rata. Sang pria membelai lembut dan menghisapnya lembut dimulai dari lingkar luar putting, menggodanya, mencoba menarik jiwanya keluar… Viny menarik kepala pria itu untuk menyantap apa yang terbaik yang ia bisa dapatkan, dan ketika hisapan itu mencapai puncak putingnya Viny hanya bisa menengadah menahan geli, gairah dan nafsu yang tiba tiba membakar dalam dadanya.

Dan Viny melihat dirinya sendiri di cermin seberang ruangan, dahulu ia melihat dirinya dengan rasa malu, kini… dengan senyum di bibir karena bahkan yang mengambil keperawanannya secara paksa dan tamu-tamunya tak pernah memperlakukannya dengan baik, meskipun ada yang sopan, tetapi ia tetap tak dipandang sebagai manusia setara. Pria itu membuka kemejanya, menampilkan badan yang sehat meski penuh bekas luka.

Dan kini Viny merasakan tangan sang pria merabai perutnya, menelusurinya perlahan seolah ingin tahu. Dan menatap wajahnya erat, Viny mengecup bibir sang pria, “om, thanks, Viny suka banget, pengalaman ya?” tetapi sang pria hanya menggeleng dengan mata sedih. “ga apa om, sekarang giliran Viny…” viny membuka kemeja longgarnya dan membiarkan buah dadanya tergelantung bebas meski tertahan oleh bra-nya yang disingkap ke bawah.

Ia berlutut, namun si lelaki hanya menunjuk dengan senyum tipis. Dan entah kenapa Viny mengerti, ia membuka kancing jeans yang ia pakai, menurunkan celana ketat itu namun ketika sudah sampai lutut sang pria menggeleng. Viny mengerti dan ikut menurunkan celana dalam tipisnya hingga sebatas lutut. Ia meraih sabuk sang pria, menurunkan celana pantalon mahal itu, bersama dalaman, dan meraih kelelakian sang lelaki yang…. Berbeda, viny memandang sang lelaki dan ia hanya mengangguk.

Ketika bibir tipis viny mengecup, ia merasa aneh, dan memasukkan benda itu kedalam mulutnya, mengisapnya lembut, menimbulkan erangan tertahan. Viny menarik benda itu keluar dan memasukkannya lagi, mencoba untuk mengetahui lebih jelas, dan benda itu mengeras seperti batu. Erangan terdengar dan viny berkonsentrasi, tetapi ia tak tahan untuk melihat sang pria, dan mata mereka beradu. Dan pria itu membelai rambut viny, dan wajah dengan mulut tersumpal kelelakian itu tersenyum, mata itu teduh tersenyum. Hanya ada satu emosi kini yang ada di mata sang pria, kebahagiaan…

Tak lama sang pria menarik viny dan tanpa usaha menggendong Viny dan menaruhnya lembut diatas Kasur. Mempermainkan rambut Viny dan berbisik lembut, “kau baik, dan silahkan bilang gombal, tetapi kau cantik, dan bolehkah aku minta izin menikmati tubuhmu?”

“boleh, om boleh berbuat apa saja.”
 Pria itu mencium bibir viny lembut, dan meraih kewanitaanya. Liang sempit itu berkeringat kental dan ia memasukinya, lembut, dan halus, seolah memasuki bangunan yang dikuasai musuh. Dan viny merasakan tiap senti yang termasuki menjalarkan getar getar keras ke punggungnya. Hingga… stop.

Dan satu satu tusukan lembut semakin cepat menghantami dirinya, Viny terpejam namun ketika ia melihat sang pria tetap menatapnya ia membalas, menantangi tatapan itu, mencoba mengalahkan dominasi sang pria. Tetapi ia tak terlawan dan gelar gairah meledak mengirim sensasi yang membuat punggungnya melengkung… sang pria memandang dan menjauh membiarkan tubuh gemetaran Viny dikuasai orgasme hebat.

Viny mencoba menguasai dirinya, dan bangkit, mencoba melepas seluruh busananya, tetapi sang pria menggeleng, “sudah tidak apa…”

“sekali lagi om?” dan Viny mengambil satu satunya posisi yang memungkinkan dengan celana yang masih melorot di lututnya. Menungging, menampilkan kewanitaan merah yang berdenyut. Sang pria mendekat, dan kali ini memasuki tanpa kelembutan, menghantami dan menyerang. Kedua tangannya meraih buah dada Viny dan mempermainkannya lembut. Kasar lembut dan kembali mengirim Viny ke apogia orgasme. Sang pria menggeram hebat. Namun Viny tahu, dan menghisap lembut kelelakian itu.

Sang pria terkejut mencoba mencabut kelelakiannya dari dalam mulut Viny, namun lahar itu terlanjur keluar, dan Viny menampungnya dengan mata terpejam…membiarkan limbah dosa itu tertelan,

Ketika semuanya berakhir, sang pria memandang dengan mata tak percaya. Dan senyum itu kembali, berbeda dengan acting seperti tadi, kali ini tulus lembut… dan gadis itu bertanya dengan suara lantang, dan berbeda, “kak, sudah puas?”

Sang pria mempermainkan ubun-ubun viny dan menciumnya lemmbut, “terimakasih… kau, hebat…”

Viny tak berkata apapun, memeluk sang pria lembut dan mendengkur halus.

Sang pria membiarkannya tertidur, namun telepon genggamnya gemetar, dan ia memandangi layar ponselnya,

PENTAGON…. CALLING….
Sang pria tersenyum dan melempar ponsel itu hingga berantakan membentur dinding.