Thursday, July 9, 2015

Joan of Arc Protocol



Hujan rintik rintik yang mulai turun dan dimana layar kisah beradu. Gelimpangan bangkai yang dahulu berwujud manusia berserakan sementara terpandang olehku di balik kacamata malam. Tidak ada yang bisa diambil lagi disini, tidak ada…
               
“alps!” seorang pria muncul dari belakang. Basah dan kedinginan.
                “yeps Mayor?”
                “status?”
                Alps mengeluarkan selembar kertas bernoda lumpur dan darah kering, membacakannya, “45 local guerilla tewas, Murshid tewas,  Whiskey luka parah, dia tidak akan bertahan sampai besok, Surya pahanya tertembus peluru, dan kita tinggal lima orang yang combat effective. Dari pihak gerilyawan tinggal 30 orang, itu termasuk Ratu, dan stafnya.”
                Dan aku hanya menghela nafas, dari 12 orang tinggal lima yang masih efektif. Dan pemberontak kini makin maju. “beritahu yang lain kita harus mundur.”
                “major!”
                Aku berbalik dengan kesal, “kenapa Alps?”
                “sang ratu menolak mundur, ia memerintahkan semua yang terluka untuk mundur, dia tetap bertahan.”
                Aku tak berkata apapun, hanya berjalan, menuju sebuah bunker yang menjadi markas darurat, dimana seorang gadis menutup luka seorang pria yang juga kukenal. Dua lubang di dada, tergeletak tak berdaya. “ratu! Mohon izin bicara!”
                “mayor, kau bisa bicara… tidak perlu minta izin.” Sang gadis menutup luka dengan ahli dan membalut dada itu dgn perban kain yang lusuh, “ini perban steril terakhir yang kita punya. Dan mereka bilang dia hanya punya waktu sampai nanti malam.” Ia menatap wajah pria itu yang kehilangan fokus antara sadar dan tiada. “bukankah aku sudah bilang siapapun yang tersisa untuk mundur dari sini?”
                “tidak tanpa engkau ratu..” jawabku
                “yang mereka cari adalah aku. Jika mereka memastikan aku mati disini kalian bisa hidup tenang. Dan kau mayor, bisa hidup dan mencari pekerjaan lain.” Sang ratu menatapku pertamakalinya. Mata kecil itu tetap memandang tulus. Dibingkai dengan wajah tirus berbibir tipis… kadang tak tersangka ia akan menjadi figur sentral dalam pemberontakan melawan pemerintah Fasis ini.
                “itu saja rat..bukan, Viny? Itu saja? Kau memutuskan mati? Jadi buat apa mereka bertempur untukmu! Buat apa? teriakku. Semua wajah memandang…
                Sang ratu hanya menunduk, seolah tak peduli dan menggunting sejumlah perban lainnya, “dan kemudian apa? Aku memilih tinggal agar kalian bisa hidup! Kalian jauh lebih berarti daripada…” ia terdiam mengumpulkan kata-kata, “kalian harus hidup, inilah satu satunya perlawanan ini bisa berlanjut. Aku hanya  simbol, dan kalian adalah nyawa dari pertarungan ini. Aku tinggal agar kalian bisa melanjutkan ini satu waktu di satu tempat.”         
                “tapi…”
                Viny tersenyum, “pergilah, ini perintah terakhir dariku.” Dan senyum tulus itu memutuskan semuanya. “ada beberapa orang yang kupilih untuk tinggal. Pesanku untukmu hanya satu. Jangan biarkan mereka menangkapku hidup-hidup.” Sang ratu menunjuk telpon satelit yang tergantung di bahuku, “Protokol Joan of Arc…ingat?”
                Ledakan berdentum, diiringi tempik sorak dan baku tembak menghebat. Sang ratu melambai menyuruhku pergi. Aku berlalu, namun sebuah tangan mencekalku untuk berlalu pergi, Kolonel Enrico, ia menyelipkan sepucuk surat di tanganku, “Bilang pada Lidya…” ia terbatuk,
                “ya aku akan katakan padanya. Jangan khawatir soal Lele juga” Aku mencabut pistol dari sabuk, meletakkannya ditangan yang tadinya menggenggam surat, “jangan biarkan mereka menangkapmu hidup hidup kolonel enrico!”
                Ia tersenyum lemah, “Der Opresso Liber!” mengokang pistolnya, dan mencabut baret hijau lusuh dari dalam saku celananya. Memasangnya untuk terakhir kalinya.
                Aku berlalu, menjawab lemah, “der Opresso Liberte! Pembebas yang tertindas.” Berlari menjauh bersama puluhan gerilyawan lainnya. Dari sudut mata terlihat tank-tank pemerintah mendekat tanpa ampun sambil menembakkan meriam dan para prajurit mereka berlari tanpa mempedulikan perlawanan para gerilyawan.
                Di sudut hutan sekitar 8 kilometer jauhnya. aku mencabut telpon satelit. Memutar dial, dan memasukkan kode. Protokol Joan D’arc… ia seorang gadis yang ditakdirkan melawan penindasan. Dan mati terbakar api untuk diangkat menjadi malaikat di surga. Ya…
                Aku memasukkan kode, dan menekan tombol merah… “selamat jalan sang ratu…” bisikku sembari mengenang gadis kurus yang selalu tersenyum walaupun sekeras apapun cobaan menyiksa. Selalu memberi alasan baginya dan orang yang percaya padanya untuk selalu bertempur.
                Telepon satelit tersebut aslinya adalah suatu detonator..menghubungkan aku dengan sebuah ransel seberat puluhan kilo yang tertanam jauh dibawah bunker. Begitu perintah diterima, sirkuit elektronik menyala, mengirimkan sinyal ke belasan detonator yang meledakkan diri, mengirim impuls ledakan ke lima kilogram isotop plutonium di tengah. Ledakan itu mengompres plutonium mendekati massa kritis dan ia bereaksi. Melepaskan jutaan watt energi berupa ledakan, panas dan radiasi sejauh lima kilometer, menghancurkan apapun yang menghalanginya.
                Aku memandang cendawan hitam itu… dan berlalu, menghapus airmata dan melanjutkan hidup.

No comments:

Post a Comment