Thursday, July 9, 2015

Desperate Hope



Jakarta, hutan beton dengan hewan hewan berkaki dua mencari penghidupan. Gedung tinggi tanpa selera merajai pandangan dan itu semua menyimpan kedamaian semu. Dan para hewan selalu hidup seperti hewan, termasuk yang berkaki dua bernama manusia.  Mereka butuh makan, mereka butuh hidup, dan mereka butuh saluran nafsu.
                Dan disebuah hotel mewah di sudirman, dua tubuh berpacu dalam nafsu, saling berpagut dalam lumpur dosa. Bercampur baur tetes lendir berbau tajam dari seorang lelaki tua bertubuh besar dengan tubuh penuh codet, aliran tetes keringat nafsu membasahi, merembes merambati keringat berembun di tubuh sang gadis yang memancarkan aroma parfum mahal yang dilambari pelan pelan oleh aroma gairah yang mengalir, menarik siapapun dalam dosa.
                Kedua bibir berpagut, berciuman dengan kejam dimana sang gadis mencoba mengimbangi sebaik mungkin dimana sang pria tidak memikirkan apapun selain melampiaskan gairah yang tak terimbangi lagi oleh yang berhak ia nikmati. Tangan kasar merambati tubuh mulus dipenuhi cupang dan bekas gigitan sang gadis tergarap lama selama berjam-jam, tenggelam dalam desah dan erangan.  Sang gadis mencoba tersenyum namun yang terpandang olehnya hanya wajah ganas, tidak ada cinta, tidak ada rasa sayang yang harusnya terpancar ketika bercinta.
                Senyum palsu itu terusak oleh desah ketika kejantanan merobek mencoba mencari cara mengeluarkan santan dosa. Sang pria berwajah kasar menggeram sementara sang gadis yang tak bisa menahan serangan ditenggelamkan ombak kenikmatan. Kejantanan tercerabut dan santan dosa membasahi sang gadis, berhamburan kemana-mana, terutama menghantam wajah yang telah dilaburi bedak mahal dan make-up tertata selama berjam-jam.
                Pria itu bangkit sementara sang gadis bangkit menyapu wajahnya yg berlumur lendir dengan tangan. Senyum puasnya berganti seringai bengis, dan tangannya melayang menampar, “berapa kali kubilang? Bilang terimakasih!”
                Sang gadis hanya terisak, dan darah bercampur lendir berkumpul di sudut bibirnya, mengeluarkan suara perlahan, “terimakasih jenderal… terimakasih telah bercinta denganku..”
                Sang jenderal mendengus, menatapnya tajam, “kau Cuma sundal, tapi sulit berterimakasih padaku yang telah membayarmu dan memberimu kenikmatan?”  ia meraih dagu si gadis dan wajah oriental lembut itu memandangnya, “kenapa sulit mengatakan itu Naomi?”
                “maaf jenderal…” jawabnya bercampur isak tangis.
                Sang jenderal berlalu, dan melemparkan setumpuk uang. Lima belas juta rupiah tergeletak begitu saja. Ketika tetes air terdengar dari dalam kamar mandi, Naomi memasukkan uang kedalam dompetnya, menarik seprai membalut tubuh telanjangnya. Kain linen bernoda keringat itu memeluk ramah kulit putih khas blasteran sunda tiongkok yang membuat para pria tergila-gila menghambanya. Tapi tidak mencintainya.

                Kelip kelap semburat lampu-lampu gemerlapnya Jakarta menyapanya ramah. Memanggilnya sementara telapak tangannya menyentuh kaca hotel… entah mengapa hidupnya berenang dalam lumpur nafsu ia tak pernah lagi ingat. Sementara sayup sayup suara sang jenderal memakai busananya lagi terdengar. Naomi tidak memandangnya, ia membenci pria itu… namun siapalah yang peduli apa pendapat kupu kupu malam.

                Naomi mendengar suara pintu terbanting dan ia duduk, menyulut rokok putih dan membiarkan pikirannya berkelana. Ya, dan tak pedulikan lagi tubuh mulusnya tak tertutupi kembali oleh seprai linen bernoda…..


                “kak Naomi..” suara cadel itu terdengar. Dan mata terbuka, dan Naomi tersenyum memandangi gadis yang seolah dirinya dalam cermin. Hanya berbeda nasib dan dunia.

                “kenapa Sinka?”

                “pamit sekolah..” dan gadis itu menyalam dan mencium tangannya sebelum menghambur keluar dari pintu apartemen. Dan ruang itu kembali sepi, dan getaran ponsel terdengar… sebenarnya ia tidak ingin menerima tamu lagi malam ini, ia begitu lelah.

                Tetapi tamu ini bersedia membayar penuh di depan… dan Naomi melempar ponselnya ke kasur. Berlalu dan memilih baju…

Dan rambatan malam mencerca, menyelimuti langit berpolusi jakarta sementara hotel Mewah Melia mengangkangi pemandangan.  Naomi mengetuk pintu, dan seseorang membuka pintu. Seorang pria besar, memakai kemeja putih  menyambutnya. Samasekali tidak memandangnya, sebatang rokok dan tumpukan puntung rokok menggunung. Naomi meneliti wajah tamunya kali ini, bersih, sehat, namun ada yang salah.

                Ia memakai dan bersikap layaknya seorang pria kantoran biasa, namun tubuhnya terlalu tinggi, dan sehat, dan matanya.. seolah memandang jauh. Ia memandang Naomi seolah… ia tahu pandangan yang serupa.. sang Jenderal. Dan ia tahu apa yang harus ia  lakukan.

                Nao duduk di kasur menunggu apa yang akan tiba selayaknya seorang kupu-kupu yang baik. Namun pria itu tidak beranjak dari kursi dan rokoknya. Hanya memandangnya heran. Naomi mematut dirinya, apakah rambutnya berantakan? Apakah minidress yang ia pakai kurang menantang atau ada sesuatu yang memberikan kesan yang salah pada tamunya?
                “kenapa? Ayo?” Naomi memanggil dengan nada merayu memanja.
                Sang pria menghela nafas lelah, “aku membayar waktumu, bukan untuk tidur denganmu Nao. Ayo duduk disini, ada yang mau kubicarakan.” Ia menunjuk kursi di hadapannya.
                “tentang?”
                “dia..” sang pria melemparkan selembar foto, “aku hanya minta setelah ini, bila kau menerima panggilannya. Kau hubungi aku.” Kemudian ia melemparkan selembar amplop, “tigapuluh ribu US dollar, tanpa pajak. Untuk kerja kerasmu. Akan ada bonus untukmu ketika kau sudah mengerjakan apa yang kuminta.”
                Naomi memandang foto itu, foto sang jenderal, “buat apa?”
                “sang jenderalmu itu membantai ribuan orang ketika berdinas, puluhan lagi hilang tanpa jejak. Aku hanya ingin membayar kembali apa yang ia lakukan. Dengan bunganya.”
                Naomi hanya terdiam.
                “aku tahu, kau memikirkan keselamatanmu dan Sinka. Untuk itu ada bonus untukmu,” sang pria melemparkan sebuah amplop lagi, dan Naomi membukanya, sebuah paspor dengan lambang rajawali, “kewarganegaraan baru, identitas baru untukmu dan Sinka. Kau bisa tinggalkan negara ini dan hidup di seberang sana. Kau masih ingin kuliah bukan? Aku bisa berikan.”
                Naomi terdiam, mengambil semua yang diberikan. Dan mengemasinya.
                “bagus… kau boleh pulang, atau aku perlu panggilkan taksi?”
                Naomi tersenyum untuk pertamakalinya, “tidak… bolehkah aku tahu namamu?”
                “tidak.. aku tidak ada dan tidak pernah ada.”
                “baiklah, semoga kita bertemu lagi…”
                “tidak akan… goodluck Naomi, pakailah kesempatan keduamu.”
                Naomi berlalu, namun sebelum ia membuka pintu pria itu memanggilnya.
                “kenapa?”
                “kau kehilangan orangtuamu ketika kerusuhan lima tahun lalu. Jenderalmu, presidenmu sekarang, dan sebagian besar orang di angkatan bersenjata negeri ini tahu dan bertanggungjawab atas itu. Faktanya merekalah dalangnya. Jadi jangan merasa kehilangan.”
                Naomi membanting pintu dan berlalu.

Dan dua hari kemudian Naomi menerima panggilan dari sang jenderal, dan kini ia menuruni taksi di hotel yang biasanya. Namun ponselnya bergetar… dan suara sang pria terdengar.
                “jangan turun dari taksi.”
                “hah?”
                “jangan turun! Tutup lagi pintu taksi itu.” Naomi kembali menutup pintu.
                “karena?”
                “kau akan tahu..” telpon tertutup. Naomi memandang ponselnya dengan heran sebelum bumi bergetar dan kilatan cahaya terlihat disusul hujan batu dan pecahan kaca bersama potongan tubuh….
                Ia memandang keluar.. lantai dan kamar tempat ia biasa bersama sang jenderal kini tertutup asap tebal dan terlalap api.. sayup sayup diantara kepanikan ia melihat sang pria di seberang jalan, bersama seorang gadis bertubuh kurus. Naomi tidak membuang waktu dan pergi menjauh….

                “kau fikir ini akan merubah apapun Mayor?” sang gadis bertanya pada pria disebelahnya ketika Naomi berlari menjauh.
                “ini perang, semuanya memiliki efek.”
                “kau melakukannya untuk dia bukan?” si gadis menunjuk Naomi.
                “ayahnya adalah seorang pria yang baik, aku tidak, dan aku sedikit banyak yang menjerumuskannya dalam dosa ketika aku gagal menjemput ayah Naomi. Ia adalah seorang agen yang baik. Kalau tidak ada dia, kita tak tahu apapun mengenai rahasia pemerintahan fasismu.”
                “kau terlalu baik Mayor Noordraven.”
                “harusnya aku yg berkata seperti itu Ratu Vienny.” Jawab sang pria. Menikmati kekacauan dan wajah penuh teror hewan hewan berkaki dua yang menjauhi lokasi ledakan.

No comments:

Post a Comment