Jakarta,
hutan beton dengan hewan hewan berkaki dua mencari penghidupan. Gedung tinggi
tanpa selera merajai pandangan dan itu semua menyimpan kedamaian semu. Dan para
hewan selalu hidup seperti hewan, termasuk yang berkaki dua bernama
manusia. Mereka butuh makan, mereka butuh
hidup, dan mereka butuh saluran nafsu.
Dan disebuah hotel mewah di
sudirman, dua tubuh berpacu dalam nafsu, saling berpagut dalam lumpur dosa.
Bercampur baur tetes lendir berbau tajam dari seorang lelaki tua bertubuh besar
dengan tubuh penuh codet, aliran tetes keringat nafsu membasahi, merembes
merambati keringat berembun di tubuh sang gadis yang memancarkan aroma parfum
mahal yang dilambari pelan pelan oleh aroma gairah yang mengalir, menarik
siapapun dalam dosa.
Kedua bibir berpagut, berciuman
dengan kejam dimana sang gadis mencoba mengimbangi sebaik mungkin dimana sang
pria tidak memikirkan apapun selain melampiaskan gairah yang tak terimbangi
lagi oleh yang berhak ia nikmati. Tangan kasar merambati tubuh mulus dipenuhi
cupang dan bekas gigitan sang gadis tergarap lama selama berjam-jam, tenggelam
dalam desah dan erangan. Sang gadis
mencoba tersenyum namun yang terpandang olehnya hanya wajah ganas, tidak ada
cinta, tidak ada rasa sayang yang harusnya terpancar ketika bercinta.
Senyum palsu itu terusak oleh
desah ketika kejantanan merobek mencoba mencari cara mengeluarkan santan dosa.
Sang pria berwajah kasar menggeram sementara sang gadis yang tak bisa menahan
serangan ditenggelamkan ombak kenikmatan. Kejantanan tercerabut dan santan dosa
membasahi sang gadis, berhamburan kemana-mana, terutama menghantam wajah yang
telah dilaburi bedak mahal dan make-up tertata selama berjam-jam.
Pria itu bangkit sementara sang
gadis bangkit menyapu wajahnya yg berlumur lendir dengan tangan. Senyum puasnya
berganti seringai bengis, dan tangannya melayang menampar, “berapa kali
kubilang? Bilang terimakasih!”
Sang gadis hanya terisak, dan
darah bercampur lendir berkumpul di sudut bibirnya, mengeluarkan suara
perlahan, “terimakasih jenderal… terimakasih telah bercinta denganku..”
Sang jenderal mendengus, menatapnya
tajam, “kau Cuma sundal, tapi sulit berterimakasih padaku yang telah membayarmu
dan memberimu kenikmatan?” ia meraih
dagu si gadis dan wajah oriental lembut itu memandangnya, “kenapa sulit
mengatakan itu Naomi?”
“maaf jenderal…” jawabnya
bercampur isak tangis.
Sang jenderal berlalu, dan
melemparkan setumpuk uang. Lima belas juta rupiah tergeletak begitu saja.
Ketika tetes air terdengar dari dalam kamar mandi, Naomi memasukkan uang
kedalam dompetnya, menarik seprai membalut tubuh telanjangnya. Kain linen
bernoda keringat itu memeluk ramah kulit putih khas blasteran sunda tiongkok
yang membuat para pria tergila-gila menghambanya. Tapi tidak mencintainya.
Kelip kelap semburat lampu-lampu
gemerlapnya Jakarta menyapanya ramah. Memanggilnya sementara telapak tangannya
menyentuh kaca hotel… entah mengapa hidupnya berenang dalam lumpur nafsu ia tak
pernah lagi ingat. Sementara sayup sayup suara sang jenderal memakai busananya
lagi terdengar. Naomi tidak memandangnya, ia membenci pria itu… namun siapalah yang
peduli apa pendapat kupu kupu malam.
Naomi mendengar suara pintu
terbanting dan ia duduk, menyulut rokok putih dan membiarkan pikirannya
berkelana. Ya, dan tak pedulikan lagi tubuh mulusnya tak tertutupi kembali oleh
seprai linen bernoda…..
“kak Naomi..” suara cadel itu
terdengar. Dan mata terbuka, dan Naomi tersenyum memandangi gadis yang seolah
dirinya dalam cermin. Hanya berbeda nasib dan dunia.
“kenapa Sinka?”
“pamit sekolah..” dan gadis itu
menyalam dan mencium tangannya sebelum menghambur keluar dari pintu apartemen.
Dan ruang itu kembali sepi, dan getaran ponsel terdengar… sebenarnya ia tidak
ingin menerima tamu lagi malam ini, ia begitu lelah.
Tetapi tamu ini bersedia
membayar penuh di depan… dan Naomi melempar ponselnya ke kasur. Berlalu dan
memilih baju…
Dan
rambatan malam mencerca, menyelimuti langit berpolusi jakarta sementara hotel
Mewah Melia mengangkangi pemandangan.
Naomi mengetuk pintu, dan seseorang membuka pintu. Seorang pria besar,
memakai kemeja putih menyambutnya.
Samasekali tidak memandangnya, sebatang rokok dan tumpukan puntung rokok
menggunung. Naomi meneliti wajah tamunya kali ini, bersih, sehat, namun ada
yang salah.
Ia memakai dan bersikap layaknya
seorang pria kantoran biasa, namun tubuhnya terlalu tinggi, dan sehat, dan
matanya.. seolah memandang jauh. Ia memandang Naomi seolah… ia tahu pandangan
yang serupa.. sang Jenderal. Dan ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Nao duduk di kasur menunggu apa
yang akan tiba selayaknya seorang kupu-kupu yang baik. Namun pria itu tidak
beranjak dari kursi dan rokoknya. Hanya memandangnya heran. Naomi mematut
dirinya, apakah rambutnya berantakan? Apakah minidress yang ia pakai kurang
menantang atau ada sesuatu yang memberikan kesan yang salah pada tamunya?
“kenapa? Ayo?” Naomi memanggil
dengan nada merayu memanja.
Sang pria menghela nafas lelah,
“aku membayar waktumu, bukan untuk tidur denganmu Nao. Ayo duduk disini, ada
yang mau kubicarakan.” Ia menunjuk kursi di hadapannya.
“tentang?”
“dia..” sang pria melemparkan
selembar foto, “aku hanya minta setelah ini, bila kau menerima panggilannya.
Kau hubungi aku.” Kemudian ia melemparkan selembar amplop, “tigapuluh ribu US
dollar, tanpa pajak. Untuk kerja kerasmu. Akan ada bonus untukmu ketika kau
sudah mengerjakan apa yang kuminta.”
Naomi memandang foto itu, foto
sang jenderal, “buat apa?”
“sang jenderalmu itu membantai
ribuan orang ketika berdinas, puluhan lagi hilang tanpa jejak. Aku hanya ingin
membayar kembali apa yang ia lakukan. Dengan bunganya.”
Naomi hanya terdiam.
“aku tahu, kau memikirkan
keselamatanmu dan Sinka. Untuk itu ada bonus untukmu,” sang pria melemparkan
sebuah amplop lagi, dan Naomi membukanya, sebuah paspor dengan lambang
rajawali, “kewarganegaraan baru, identitas baru untukmu dan Sinka. Kau bisa
tinggalkan negara ini dan hidup di seberang sana. Kau masih ingin kuliah bukan?
Aku bisa berikan.”
Naomi terdiam, mengambil semua
yang diberikan. Dan mengemasinya.
“bagus… kau boleh pulang, atau
aku perlu panggilkan taksi?”
Naomi tersenyum untuk
pertamakalinya, “tidak… bolehkah aku tahu namamu?”
“tidak.. aku tidak ada dan tidak
pernah ada.”
“baiklah, semoga kita bertemu
lagi…”
“tidak akan… goodluck Naomi,
pakailah kesempatan keduamu.”
Naomi berlalu, namun sebelum ia
membuka pintu pria itu memanggilnya.
“kenapa?”
“kau kehilangan orangtuamu
ketika kerusuhan lima tahun lalu. Jenderalmu, presidenmu sekarang, dan sebagian
besar orang di angkatan bersenjata negeri ini tahu dan bertanggungjawab atas
itu. Faktanya merekalah dalangnya. Jadi jangan merasa kehilangan.”
Naomi membanting pintu dan
berlalu.
Dan dua
hari kemudian Naomi menerima panggilan dari sang jenderal, dan kini ia menuruni
taksi di hotel yang biasanya. Namun ponselnya bergetar… dan suara sang pria
terdengar.
“jangan turun dari taksi.”
“hah?”
“jangan turun! Tutup lagi pintu
taksi itu.” Naomi kembali menutup pintu.
“karena?”
“kau akan tahu..” telpon
tertutup. Naomi memandang ponselnya dengan heran sebelum bumi bergetar dan
kilatan cahaya terlihat disusul hujan batu dan pecahan kaca bersama potongan tubuh….
Ia memandang keluar.. lantai dan
kamar tempat ia biasa bersama sang jenderal kini tertutup asap tebal dan
terlalap api.. sayup sayup diantara kepanikan ia melihat sang pria di seberang
jalan, bersama seorang gadis bertubuh kurus. Naomi tidak membuang waktu dan
pergi menjauh….
“kau fikir ini akan merubah
apapun Mayor?” sang gadis bertanya pada pria disebelahnya ketika Naomi berlari
menjauh.
“ini perang, semuanya memiliki
efek.”
“kau melakukannya untuk dia
bukan?” si gadis menunjuk Naomi.
“ayahnya adalah seorang pria
yang baik, aku tidak, dan aku sedikit banyak yang menjerumuskannya dalam dosa
ketika aku gagal menjemput ayah Naomi. Ia adalah seorang agen yang baik. Kalau
tidak ada dia, kita tak tahu apapun mengenai rahasia pemerintahan fasismu.”
“kau terlalu baik Mayor
Noordraven.”
“harusnya aku yg berkata seperti
itu Ratu Vienny.” Jawab sang pria. Menikmati kekacauan dan wajah penuh teror
hewan hewan berkaki dua yang menjauhi lokasi ledakan.
No comments:
Post a Comment