Ketika
malam malam membelai dataran tidak tersentuh. Malam tiada lagi gelap namun
laiknya bertahtakan berlian, bersih dan damai. Diantara celah celah berbintang
titik titik hitam bermunculan, menutupi cahaya bintang dan berlomba mendekat.
Hanya bayang disusul dengan taut taut suara yang terasa membosankan. Namun
perlahan berseru mengancam.
Tegak diantara padang luas sabana Nusatenggara,
seorang gadis duduk diatas sadel kuda, memandangi langit penuh harap. Mata
hitamnya besar menangkap sebanyak mungkin cahaya bintang yang terasa damai.
Samar samar jemarinya meraba busur yang tersandang di bahu kecilnya. Diantara
selipan temaram terkadang kulit putihnya tersingkap, seolah memberikan intipan
samar aslinya dirinya, yang tak tertutupi minyak paus.
Dan ia memacu kudanya hingga ke sebuah lubuk
berbentuk tapal kuda menyambutnya perlahan. Gelap namun tetap temaram dimatanya
yang terbiasa diantara alam liar terlihat seseorang berdiri menunggunya. Tinggi
kurus namun dengan wajah yang tak jelas tersembunyi dari balik kacamata malam.
“shalom…”
“shalom…” jawab bayangan itu sembari mengangkat
tangannya. “Amel menitipkan ini padaku…” dan di tangannya muncul sebuah cincin
giok.
“bagaimana Cici?”
“ia sehat… meskipun kamp penjara di
Nusakambangan penuh penyakit.”
Gadis itu memandang kosong, hanya tersenyum
selintas setidaknya kakaknya tidak berakhir sebagai budak atau dibunuh sia-sia.
“namamu siapa kak? Dan apakah… Cuma engkau sendiri?”
“Yayan, Yanto Nugroho, United States Army
Special Forces. Kapten. Operational Detachment Alpha 716.” Pria itu melepas
topi rimba dan kacamata malam, dan kemudian rerumputan disekitar mereka berubah
hidup, menampilkan sebelas pria bersenjata lengkap memanggul rangsel besar.
Gadis itu tersenyum, ekspresi lusuhnya tanggal
seketika ketika ia menyambut tangan terulur padanya, “Andela Yuwono.”
Latar mengapa ada
pertemuan di suatu padang tak jelas di Nusatenggara dimulai ketika krisis
ekonomi melanda indonesia. Ditengah kekacauan dan perebutan kekuasaan antar
faksi. Suatu faksi muncul, menyebut diri mereka sebagai Dawla Islamiya Al
Indonesyi atau biasa disebut sebagai Daesh.
Pemerintahan teror ala
sel-sel Daesh menyasar para minoritas, intelektual, dan kaum Kuffar. Tiada hari
tanpa tiap hari ada saja pelanggar yang dipenggal, ditembak, atau keluarga yang
diadili dan harta serta anak gadis mereka dirampas dan dijadikan budak.
Perbudakan dan
perlakuan semena-mena terhadap minoritas dan pemberangusan budaya oleh Daesh
membuat dunia marah, namun tak ada satupun yang bisa bertindak. Sejumlah besar
pemberontak tidak bisa berbuat apapun karena terpengaruh pertarungan internal
diantara mereka sendiri.
Namun ada satu sel
perlawanan di Indonesia timur yang dengan gigih melawan Daesh. Menguasai sebuah
pulau kecil tak bernama dan tak jelas dimana. Melakukan raid ke pulau pulau
sekitar dengan persenjataan seadanya dan hilang tak berwajah….
Mereka dikenal oleh
militan Daesh sebagai: Shaitani Aidarhu.
Dan Begitulah para pembebas yang tertindas
lahir….
No comments:
Post a Comment