Thursday, July 9, 2015

Para Pengguna Jiwa



Ketika malam malam membelai dataran tidak tersentuh. Malam tiada lagi gelap namun laiknya bertahtakan berlian, bersih dan damai. Diantara celah celah berbintang titik titik hitam bermunculan, menutupi cahaya bintang dan berlomba mendekat. Hanya bayang disusul dengan taut taut suara yang terasa membosankan. Namun perlahan berseru mengancam.

Tegak diantara padang luas sabana Nusatenggara, seorang gadis duduk diatas sadel kuda, memandangi langit penuh harap. Mata hitamnya besar menangkap sebanyak mungkin cahaya bintang yang terasa damai. Samar samar jemarinya meraba busur yang tersandang di bahu kecilnya. Diantara selipan temaram terkadang kulit putihnya tersingkap, seolah memberikan intipan samar aslinya dirinya, yang tak tertutupi minyak paus.

Dan ia memacu kudanya hingga ke sebuah lubuk berbentuk tapal kuda menyambutnya perlahan. Gelap namun tetap temaram dimatanya yang terbiasa diantara alam liar terlihat seseorang berdiri menunggunya. Tinggi kurus namun dengan wajah yang tak jelas tersembunyi dari balik kacamata malam.

“shalom…”

“shalom…” jawab bayangan itu sembari mengangkat tangannya. “Amel menitipkan ini padaku…” dan di tangannya muncul sebuah cincin giok.

“bagaimana Cici?”

“ia sehat… meskipun kamp penjara di Nusakambangan penuh penyakit.”

Gadis itu memandang kosong, hanya tersenyum selintas setidaknya kakaknya tidak berakhir sebagai budak atau dibunuh sia-sia. “namamu siapa kak? Dan apakah… Cuma engkau sendiri?”

“Yayan, Yanto Nugroho, United States Army Special Forces. Kapten. Operational Detachment Alpha 716.” Pria itu melepas topi rimba dan kacamata malam, dan kemudian rerumputan disekitar mereka berubah hidup, menampilkan sebelas pria bersenjata lengkap memanggul rangsel besar.

Gadis itu tersenyum, ekspresi lusuhnya tanggal seketika ketika ia menyambut tangan terulur padanya, “Andela Yuwono.”


Latar mengapa ada pertemuan di suatu padang tak jelas di Nusatenggara dimulai ketika krisis ekonomi melanda indonesia. Ditengah kekacauan dan perebutan kekuasaan antar faksi. Suatu faksi muncul, menyebut diri mereka sebagai Dawla Islamiya Al Indonesyi atau biasa disebut sebagai Daesh.
Pemerintahan teror ala sel-sel Daesh menyasar para minoritas, intelektual, dan kaum Kuffar. Tiada hari tanpa tiap hari ada saja pelanggar yang dipenggal, ditembak, atau keluarga yang diadili dan harta serta anak gadis mereka dirampas dan dijadikan budak.
Perbudakan dan perlakuan semena-mena terhadap minoritas dan pemberangusan budaya oleh Daesh membuat dunia marah, namun tak ada satupun yang bisa bertindak. Sejumlah besar pemberontak tidak bisa berbuat apapun karena terpengaruh pertarungan internal diantara mereka sendiri.
Namun ada satu sel perlawanan di Indonesia timur yang dengan gigih melawan Daesh. Menguasai sebuah pulau kecil tak bernama dan tak jelas dimana. Melakukan raid ke pulau pulau sekitar dengan persenjataan seadanya dan hilang tak berwajah….
Mereka dikenal oleh militan Daesh sebagai:  Shaitani Aidarhu.


Dan Begitulah para pembebas yang tertindas lahir….

No comments:

Post a Comment