Thursday, July 9, 2015

Path To Freedom

WUUUUUGH SIAPA YANG TIDUR DAN COLI SENDIRI?

PANDA PRIDEM!

YANG BARANGNYA BERDIRI TAK BISA BERHENTI?

PANDA PRIDEM!

18 TAUN SENDIRI TAPI INGIN BERBINI?

PANDA PRIDEM... PANDA PRIDEM.. PANDAAAA PRIDEEEEEM (baca pake lirik opening Spongebob)



dan tawa tergelak mengalun dari barisan lelaki berbaju coklat muda yang seolah tanpa peduli sedang menggendong ransel berisi batu berat. Hanya satu orang yang tak tertawa dan hanya menggerutu sendirian. bertubuh paling kecil diantara duabelas pemuda lain. 

Lamat lama di kejauhan terlihat gerbang dan barisan mempercepat larinya. tak peduli lelah dan lecet karena mereka tahu sebentar lagi kasur dan makan malam menunggu. Hidup di ksatriaan yang keras hanya berkutat pada luka, lelah, lecet, mencuci baju dan mengurusi ruang pribadi hingga rapi. Hiburan yang ada hanyalah surat ataupun telepon sesekali kerumah.

Begitulah, 

hanya rutinitas, ulang berulang sementara mereka buta akan berita sekitar, hanya gosip ketika mandi dan buang air mengenai kekacauan di ujung sana, dan gosip gosip menyebut para bawang mentah siswa calon tamtama akan dikirim langsung ke medan tugas.

dan tidak ada satupun yang luput dari rutinitas ketika komandan regu tiba tiba dipanggil. Ia kembali dan berlari menuju Velbed alias ranjang tempur paling ujung yang paling dekat dengan kloset.

"Dem... pridem!"

"Aoaab?" jawab pria yang sedang membaca komik stensilan dengan malas.

"dipanggil ke Markas, ada yang mau bertemu."

"Sokap?" tanya balik Revanda Mulya, alias Catam Pridem.

"mana kutau, buru anjir, lau bikin masalah muluk. jangan lupa seragam lau orang."

"Siap Danru!" jawab pridem dengan malas.


tanpa membuang waktu, Pridem memakai seragam dinasnya dan memastikan tak ada satupun cacat di seragamnya. Ia sudah muak disuruh jungkir hingga muntah oleh Papa Erich, bintara Peleton Pelatih bertopi merah yang selalu mencari cari alasan menghukum atau membuat susah hidup para siswa.

Tak lama ia telah berada di depan pintu komandan ksatriaan. mengetuk tiga kali per-regulasi dan satu suara menyuruhnya masuk. menghadapi pria berwajah semi arab dengan lisan sekotor comberan. Kolonel Enrico Aryaguna, mantan Sandhi Yudha. veteran perang hebat dengan sederet medali, satu satunya yang salah dari dirinya hanya ia punya sebelah kaki. Kenang-kenangan dari Timor Leste.

"Catam Revanda Mulya melapor Kolonel!"

"istirahat," kolonel Enrich memandangnya santai dan melempar sebuah telegram, "aku tak tahu kau siapa, aku tak peduli dengan kecoa seperti kau, dan aku juga tidak mau punya siswa seperti kau... tapi kau dapat izin pesiar selama 24 jam. melapor lusa jam 7.00 tepat sebelum kalian diberangkatkan ke Perbatasan."

"kolonel?"

kolonel Enrich seperti terkejut sesaat, "oh ya, satu lagi... NOEL! MASUK!"

wajah Pridem berubah dari jelek menjadi rusak... pucat. terutama mendengar suara sepatu dan lantunan serak dari belakang.

"sore Om... bagaimana?"

"Kau bawa si anjing ini, tapi ingat, balikin idup idup. jangan bikin susah, ngerti!?"

"okeh Om.."

kolonel Enrich kembali menekuni kertasnya, namun terhenti sejenak, "MASIH DISINI? MINGGAT HODOB!"

Pridem berbalik dan keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. tetapi didepannya kini berdiri seorang gadis yang memandangnya galak. meskipun ia bersumpah itu adalah gadis tercantik yang pernah ia temui.

dengan melipat tangan memandangnya, gadis dengan cardigan merah dan bermata tajam yang membuatnya terlihat galak... tetapi...
Menarik tangan Fridem dan menggamitnya menuju taman di depan ksatriaan...

tak ada suara, tak ada dialog, hanya suramnya diam. Pridem memutar memori bagaimana ia jatuh menjadi anakbuah gadis ini. ia hanya ingat samar samar tiap kali ditindas ataupun digencet hanya gadis ini yang membelanya. namun ia hanya dibela karena ia adalah anakbuah gadis ini...

ya dan begitulah karsa siksa hidupnya bertuai muai dalam langkah belenggu.


ya dan begitulah gadis bernama Noella itu memecah hening, "kemana aja ga ngabarin? sudah ngerasa bisa hidup sendirian?"

pridem diam...

"sudah ngerasa bisa urus diri sendiri? sudah lupa kalau dimana mana kau cuma jadi anakbuah orang yang ditindas?"

pridem diam lagi

"kucari cari kau di tiap ksatriaan dan kutemukan kau disini, tetap menyedihkan tetap bodoh."

pridem jadi patung...

"duduk!"

pridem duduk di bangku batu yang dikelilingi pepohonan rimbun, tempat andalannya mengasingkan diri.

"lihat mataku dem, kenapa kau pergi dan tidak pernah berkabar?" suara itu naik satu oktaf, "Pridem, lihat mataku kalau lagi ngomong!"

pridem mengangkat wajahnya, memandangi gadis itu dengan getir. seperti biasa tak bisa berkata apapun

"maaf" jawabnya lemah.

"kau anakbuahku... ga pernah ngabarin, ga pernah kasih petunjuk lagi ngapain sedang dimana. kau lupa siapa yang menjagamu tetap idup selama di SMA?"

"siap tidak Noella.." jawabnya, "maaf aku salah, tapi apa pedulimu? aku tak lebih dari sekedar supirmu, tak lebih dari gugelmu, atau temanmu belanja.. kau hanya perlu aku karena aku terlalu lemah melawanmu."

mata Noella mendelik makin tajam, namun kembali melembut... dan ia bangkit.. berjalan mengitari meja. dan.... duduk di meja, hanya bertaut sekian jengkal dari wajah pridem, "sampai kinipun kau tak tahu, memang lelaki tolol... lelaki tolol dimataku biasanya mesti diapain?"

"dihukum..." dan...

gadis itu duduk di pangkuan pridem, membuat sesak nafas sembari matanya memandang tajam dan ia berujar dengan suaranya yang dalam, "jangan berpikir kurang ajar... awas kau..."

"tapi?"


dan wajah itu bertaut makin dekat, "kau si tolol tak pernah mengerti apapun, biar kau cari sendiri jawabnya..." ia menyentuh kedua pipi pridem, "kalau saja garis hidup kita nanti berbeda, adakah satu tempat yang kau ingin kunjungi?"

"Papa Erich menyebut satu bukit di sumatera barat namanya Langkisau. katanya pemandangannya enak.. kau bisa marah sepuasnya disana.."

Noella mengeratkan genggamnya pada kedua pipi pridem, "kalau begitu, kau harus pulang... kau harus bawa aku kesana... mengerti?"

Pridem mengangguk... dekatkan wajahnya hingga makin rapat jaraknya, "aku janji boss.." dan mencium dahi Noella, entah mengapa memeluknya erat... noella membalas pelukan tersebut, agar tak tampak oleh pridem wajahnya berurai air mata...




Bukit Langkisau, pasca Perang Saudara Indonesia. 4 tahun kemudian.


Ya... dan begitulah akhir kisah ini...


seorang gadis berdiri di tubir bukit langkisau... sendirian, temannya hanya ratusan tugu putih tanpa dekor indah... 

tak terlihat dari pandangan angin yang bertiup dari timur... hanya bisiknya, "sampai akhirpun kau tak pernah bisa diandalkan... lelaki tolol..."

namun apa yang diajaknya bicara tak dapat menjawab. tepatnya tak bisa lagi menjawab. hanya dapat tampilkan tulisan yang sama namun tiap kali terlihat tak pernah dipercaya oleh sang gadis yang bacanya kini.


REVANDA MULYA
TNI-AD
GUGUR DALAM TUGAS

No comments:

Post a Comment