Thursday, July 9, 2015

horor project

seorang lelaki terduduk di lobi sebuah hotel di bunderan HI, hotel mewah dan empuknya sofa menyangga tubuhnya yang kuat, namun juga lelah. Empatpuluh tahun hidup dalam sendiri dan sunyi hanya mencari materi tetapi tak dicintai. Ia menghirup rum yang disajikan bartender, membakar dan menumpuk dalam aliran darahnya. Ia tahu, alcohol membuat keberanian menjadi besar. Keberanian menjadi teraliri dalam sensasi artifisial yang ia tahu membawa angkara dan kebaikan pada saat bersamaan.

Ia memandang resah menunggu apa yang ia inginkan. Sementara seorang gadis muncul di ujung lobi , berpita biru dan bersepatu hitam sederhana dengan jeans biru dan kemeja biru muda yang bisa dikatakan lusuh. Membawa cinta yang ia pesan. Dalam ragu, ia bertanya keberanian apa yang ia lakukan kini. Ketika tawar menawar antara berapa cinta yang ia inginkan berapa yang harus ia bayarkan ia tak berfikir panjang, namun ketika bertemu siapa yang menarik hatinya dalam lembar lembar foto yang diajukan seorang mucikari, ia tak berfikir panjang dan langsung membayar.

Jebakan dalam lingkaran membius, namun dorongan jiwa tak tertahankan. Entah iblis apa yang merasuk ketika ia memilih cara ini. Tapi ia tak punya apapun, ia tak pernah dicintai, ia dibenci siapapun yang mengabdi dengannya. Pria itu memejamkan matanya, menolak memahami mengapa ia menabrak nilai dalam dirinya untuk hanya bisa dicintai. Dari kejauhan ia memandangi wajah itu, lembut, dengan mata kecil, hidung bangir mungil dan mata yang sayu. Tubuh kurusnya tak membuat siapapun berselera, namun… ada hal yang membuatnya ingin memiliki, walau hanya untuk…. Untuk sementara

Dan pria sang pria memejamkan matanya, menolak…. Menolak mengakui dirinya berbuat salah. Samar terdengar suara sang gadis, lembut memanggil.. seketika sukma meninggalkan orbit, hingga satu insting terlawan untuk berlari menjauh dan menyerah pada rasa malu. Mengandaskan apa yang terniat dalam diri untuk menyerah dalam pusaran nafsu.

“om?” dan pria itu membuka matanya, dan wajah gadis itu memenuhi pandangan

“kenalan  yuk… namaku Viny..” dan ia tersenyum, “namanya om siapa?” sembari tersenyum hingga matanya hilang…

ia menyebut namanya, dan entah mengapa sang pria TERPAKSA tersenyum

“lho, akhirnya oom tersenyum juga.. tadi seperti tegang begitu” ia menggandeng tanganku tanpa malu malu, menarikku keluar dari lobi. “senyum dong om, malu?”

“ya… seperti itulah.” Jawabnya asal. “kau tahu Viny, ini yang pertama aku…”

“tidak, om adalah tamuku, dan, kelihatannya om orang baik..”

Ketika sesampainya di depan pintu kamar….aku memandang kebelakang, dan terjadilah.

Viny memandang punggung lelaki yang berjalan didepannya, lebar dan lelah namun tetap tegak… sendirian, dan Viny tahu, ia benci pada hidup. Tak terterangkan oleh lagu apapun dalam hatinya yang berkarat.

“viny?” Tanya pria itu lembut namun tegas. “kenapa? Ada yang tak kau suka dari kamar ini?”

Sepi dan sepi hidupnya beradu, berjuang saling meraba sementara mereka bertatapan. “tidak, bagus kok om..”

“aku tidak memandangmu sebagai gadis panggilan, kau adalah temanku untuk malam ini, semalam ini saja. Semalam ini saja temani aku bukan karena uang, bukan karena kekuasaan, bukan karena apapun. Mau? Atau aku harus membayar lebih?”

Viny berjalan mendekat, memandangi pria didepannya lebih teliti, kemeja putih yang pria itu kenakan tak sanggup menutupi badannya yang keras, sementara mata itu memandangnya lembut diantara helai rambut-rambut yang mulai berkelabu satu satu. Namun ada yang terasa di dalam pandangan itu. Kesepian. Dan Viny juga kesepian hingga ia memilih jalan ini, kekerasan dalam rumah, terjebak dosa dan dibuang oleh keluarga dan temannya. Tak ditolong meskipun ia terjatuh dalam lembah ternoda.

Viny mengulurkan tangannya, “apa yang Om mau?”

“Viny…” sang pria meraih tangan itu, “temani aku malam ini..”

Viny menarik tangan pria itu, membenamkan wajahnya dalam dadanya, menelusuri tubuh itu yang berbeda dengan tubuh yang selama ini ia jamah, keras, semua yang ia sentuh hanyalah otot keras,,, namun dari pandangannya yang terlihat hanyalah sepi dan hampa, dan secercah kelembutan. Mata beradu dan…. Terhenti.

“kau tidak pernah menemukan pria sepertiku? Atau apa?”

“tidak om, Cuma… mungkin om yang menyentuhku dengan hati dan jiwa.” Viny mengecup lembut dahi pria itu, “bukan sebagai boneka atau pemuas saja…”

“kau tidak perlu memujiku,” ia berbisik sedih, namun Viny mengecup bibir itu lembut, merasakan aroma rum. Pertama pria itu tak membalas, hisapan lembut meraja diantara sela-sela bibir dan lidah Viny memasuki mulut sang pria tanpa permisi, mencari sesuatu. Tidak membalas, namun pria itu menariknya kembali, menciumi dahinya, mengadu hidungnya lembut yang membuat Viny tertawa geli untuk kemudian menciumnya kembali lembut dan memasuki mulutnya perlahan lahan. Dan sang pria memeluknya..menelusuri punggung viny lembut yang membuat darahnya naik ke kepala.

“om…” Viny terkejut saat wajah pria itu seolah bertanya apakah ia boleh membuka kancing kemeja Viny… dan ia menelusuri bahu Viny dengan jarinya lembut.. memandangnya penuh Tanya saat melihat bekas bekas kekasaran di tubuhnya, dan Viny hanya menggeleng. Pria itu mengangguk paham dan menyibak bra Viny. Menampilkan buah dada mungil sebesar apel yang kencang namun tertutupi sehingga menimbulkan kesan berdada rata. Sang pria membelai lembut dan menghisapnya lembut dimulai dari lingkar luar putting, menggodanya, mencoba menarik jiwanya keluar… Viny menarik kepala pria itu untuk menyantap apa yang terbaik yang ia bisa dapatkan, dan ketika hisapan itu mencapai puncak putingnya Viny hanya bisa menengadah menahan geli, gairah dan nafsu yang tiba tiba membakar dalam dadanya.

Dan Viny melihat dirinya sendiri di cermin seberang ruangan, dahulu ia melihat dirinya dengan rasa malu, kini… dengan senyum di bibir karena bahkan yang mengambil keperawanannya secara paksa dan tamu-tamunya tak pernah memperlakukannya dengan baik, meskipun ada yang sopan, tetapi ia tetap tak dipandang sebagai manusia setara. Pria itu membuka kemejanya, menampilkan badan yang sehat meski penuh bekas luka.

Dan kini Viny merasakan tangan sang pria merabai perutnya, menelusurinya perlahan seolah ingin tahu. Dan menatap wajahnya erat, Viny mengecup bibir sang pria, “om, thanks, Viny suka banget, pengalaman ya?” tetapi sang pria hanya menggeleng dengan mata sedih. “ga apa om, sekarang giliran Viny…” viny membuka kemeja longgarnya dan membiarkan buah dadanya tergelantung bebas meski tertahan oleh bra-nya yang disingkap ke bawah.

Ia berlutut, namun si lelaki hanya menunjuk dengan senyum tipis. Dan entah kenapa Viny mengerti, ia membuka kancing jeans yang ia pakai, menurunkan celana ketat itu namun ketika sudah sampai lutut sang pria menggeleng. Viny mengerti dan ikut menurunkan celana dalam tipisnya hingga sebatas lutut. Ia meraih sabuk sang pria, menurunkan celana pantalon mahal itu, bersama dalaman, dan meraih kelelakian sang lelaki yang…. Berbeda, viny memandang sang lelaki dan ia hanya mengangguk.

Ketika bibir tipis viny mengecup, ia merasa aneh, dan memasukkan benda itu kedalam mulutnya, mengisapnya lembut, menimbulkan erangan tertahan. Viny menarik benda itu keluar dan memasukkannya lagi, mencoba untuk mengetahui lebih jelas, dan benda itu mengeras seperti batu. Erangan terdengar dan viny berkonsentrasi, tetapi ia tak tahan untuk melihat sang pria, dan mata mereka beradu. Dan pria itu membelai rambut viny, dan wajah dengan mulut tersumpal kelelakian itu tersenyum, mata itu teduh tersenyum. Hanya ada satu emosi kini yang ada di mata sang pria, kebahagiaan…

Tak lama sang pria menarik viny dan tanpa usaha menggendong Viny dan menaruhnya lembut diatas Kasur. Mempermainkan rambut Viny dan berbisik lembut, “kau baik, dan silahkan bilang gombal, tetapi kau cantik, dan bolehkah aku minta izin menikmati tubuhmu?”

“boleh, om boleh berbuat apa saja.”
 Pria itu mencium bibir viny lembut, dan meraih kewanitaanya. Liang sempit itu berkeringat kental dan ia memasukinya, lembut, dan halus, seolah memasuki bangunan yang dikuasai musuh. Dan viny merasakan tiap senti yang termasuki menjalarkan getar getar keras ke punggungnya. Hingga… stop.

Dan satu satu tusukan lembut semakin cepat menghantami dirinya, Viny terpejam namun ketika ia melihat sang pria tetap menatapnya ia membalas, menantangi tatapan itu, mencoba mengalahkan dominasi sang pria. Tetapi ia tak terlawan dan gelar gairah meledak mengirim sensasi yang membuat punggungnya melengkung… sang pria memandang dan menjauh membiarkan tubuh gemetaran Viny dikuasai orgasme hebat.

Viny mencoba menguasai dirinya, dan bangkit, mencoba melepas seluruh busananya, tetapi sang pria menggeleng, “sudah tidak apa…”

“sekali lagi om?” dan Viny mengambil satu satunya posisi yang memungkinkan dengan celana yang masih melorot di lututnya. Menungging, menampilkan kewanitaan merah yang berdenyut. Sang pria mendekat, dan kali ini memasuki tanpa kelembutan, menghantami dan menyerang. Kedua tangannya meraih buah dada Viny dan mempermainkannya lembut. Kasar lembut dan kembali mengirim Viny ke apogia orgasme. Sang pria menggeram hebat. Namun Viny tahu, dan menghisap lembut kelelakian itu.

Sang pria terkejut mencoba mencabut kelelakiannya dari dalam mulut Viny, namun lahar itu terlanjur keluar, dan Viny menampungnya dengan mata terpejam…membiarkan limbah dosa itu tertelan,

Ketika semuanya berakhir, sang pria memandang dengan mata tak percaya. Dan senyum itu kembali, berbeda dengan acting seperti tadi, kali ini tulus lembut… dan gadis itu bertanya dengan suara lantang, dan berbeda, “kak, sudah puas?”

Sang pria mempermainkan ubun-ubun viny dan menciumnya lemmbut, “terimakasih… kau, hebat…”

Viny tak berkata apapun, memeluk sang pria lembut dan mendengkur halus.

Sang pria membiarkannya tertidur, namun telepon genggamnya gemetar, dan ia memandangi layar ponselnya,

PENTAGON…. CALLING….
Sang pria tersenyum dan melempar ponsel itu hingga berantakan membentur dinding.

No comments:

Post a Comment