seorang lelaki terduduk di lobi sebuah hotel di
bunderan HI, hotel mewah dan empuknya sofa menyangga tubuhnya yang kuat, namun
juga lelah. Empatpuluh tahun hidup dalam sendiri dan sunyi hanya mencari materi
tetapi tak dicintai. Ia menghirup rum yang disajikan bartender, membakar dan
menumpuk dalam aliran darahnya. Ia tahu, alcohol membuat keberanian menjadi
besar. Keberanian menjadi teraliri dalam sensasi artifisial yang ia tahu
membawa angkara dan kebaikan pada saat bersamaan.
Ia memandang resah menunggu apa yang ia inginkan.
Sementara seorang gadis muncul di ujung lobi , berpita biru dan bersepatu hitam
sederhana dengan jeans biru dan kemeja biru muda yang bisa dikatakan lusuh.
Membawa cinta yang ia pesan. Dalam ragu, ia bertanya keberanian apa yang ia
lakukan kini. Ketika tawar menawar antara berapa cinta yang ia inginkan berapa
yang harus ia bayarkan ia tak berfikir panjang, namun ketika bertemu siapa yang
menarik hatinya dalam lembar lembar foto yang diajukan seorang mucikari, ia tak
berfikir panjang dan langsung membayar.
Jebakan dalam lingkaran membius, namun dorongan jiwa
tak tertahankan. Entah iblis apa yang merasuk ketika ia memilih cara ini. Tapi
ia tak punya apapun, ia tak pernah dicintai, ia dibenci siapapun yang mengabdi
dengannya. Pria itu memejamkan matanya, menolak memahami mengapa ia menabrak
nilai dalam dirinya untuk hanya bisa dicintai. Dari kejauhan ia memandangi
wajah itu, lembut, dengan mata kecil, hidung bangir mungil dan mata yang sayu.
Tubuh kurusnya tak membuat siapapun berselera, namun… ada hal yang membuatnya
ingin memiliki, walau hanya untuk…. Untuk sementara
Dan pria sang pria memejamkan matanya, menolak….
Menolak mengakui dirinya berbuat salah. Samar terdengar suara sang gadis,
lembut memanggil.. seketika sukma meninggalkan orbit, hingga satu insting
terlawan untuk berlari menjauh dan menyerah pada rasa malu. Mengandaskan apa
yang terniat dalam diri untuk menyerah dalam pusaran nafsu.
“om?” dan pria itu membuka matanya, dan wajah gadis
itu memenuhi pandangan
“kenalan yuk…
namaku Viny..” dan ia tersenyum, “namanya om siapa?” sembari tersenyum hingga
matanya hilang…
ia menyebut namanya, dan entah mengapa sang pria
TERPAKSA tersenyum
“lho, akhirnya oom tersenyum juga.. tadi seperti
tegang begitu” ia menggandeng tanganku tanpa malu malu, menarikku keluar dari
lobi. “senyum dong om, malu?”
“ya… seperti itulah.” Jawabnya asal. “kau tahu Viny,
ini yang pertama aku…”
“tidak, om adalah tamuku, dan, kelihatannya om orang
baik..”
Ketika sesampainya di depan pintu kamar….aku memandang
kebelakang, dan terjadilah.
Viny memandang punggung lelaki yang berjalan
didepannya, lebar dan lelah namun tetap tegak… sendirian, dan Viny tahu, ia
benci pada hidup. Tak terterangkan oleh lagu apapun dalam hatinya yang
berkarat.
“viny?” Tanya pria itu lembut namun tegas. “kenapa?
Ada yang tak kau suka dari kamar ini?”
Sepi dan sepi hidupnya beradu, berjuang saling meraba
sementara mereka bertatapan. “tidak, bagus kok om..”
“aku tidak memandangmu sebagai gadis panggilan, kau
adalah temanku untuk malam ini, semalam ini saja. Semalam ini saja temani aku
bukan karena uang, bukan karena kekuasaan, bukan karena apapun. Mau? Atau aku
harus membayar lebih?”
Viny berjalan mendekat, memandangi pria didepannya
lebih teliti, kemeja putih yang pria itu kenakan tak sanggup menutupi badannya
yang keras, sementara mata itu memandangnya lembut diantara helai rambut-rambut
yang mulai berkelabu satu satu. Namun ada yang terasa di dalam pandangan itu.
Kesepian. Dan Viny juga kesepian hingga ia memilih jalan ini, kekerasan dalam
rumah, terjebak dosa dan dibuang oleh keluarga dan temannya. Tak ditolong
meskipun ia terjatuh dalam lembah ternoda.
Viny mengulurkan tangannya, “apa yang Om mau?”
“Viny…” sang pria meraih tangan itu, “temani aku malam
ini..”
Viny menarik tangan pria itu, membenamkan wajahnya
dalam dadanya, menelusuri tubuh itu yang berbeda dengan tubuh yang selama ini
ia jamah, keras, semua yang ia sentuh hanyalah otot keras,,, namun dari
pandangannya yang terlihat hanyalah sepi dan hampa, dan secercah kelembutan.
Mata beradu dan…. Terhenti.
“kau tidak pernah menemukan pria sepertiku? Atau apa?”
“tidak om, Cuma… mungkin om yang menyentuhku dengan
hati dan jiwa.” Viny mengecup lembut dahi pria itu, “bukan sebagai boneka atau
pemuas saja…”
“kau tidak perlu memujiku,” ia berbisik sedih, namun
Viny mengecup bibir itu lembut, merasakan aroma rum. Pertama pria itu tak
membalas, hisapan lembut meraja diantara sela-sela bibir dan lidah Viny
memasuki mulut sang pria tanpa permisi, mencari sesuatu. Tidak membalas, namun
pria itu menariknya kembali, menciumi dahinya, mengadu hidungnya lembut yang
membuat Viny tertawa geli untuk kemudian menciumnya kembali lembut dan memasuki
mulutnya perlahan lahan. Dan sang pria memeluknya..menelusuri punggung viny
lembut yang membuat darahnya naik ke kepala.
“om…” Viny terkejut saat wajah pria itu seolah
bertanya apakah ia boleh membuka kancing kemeja Viny… dan ia menelusuri bahu
Viny dengan jarinya lembut.. memandangnya penuh Tanya saat melihat bekas bekas
kekasaran di tubuhnya, dan Viny hanya menggeleng. Pria itu mengangguk paham dan
menyibak bra Viny. Menampilkan buah dada mungil sebesar apel yang kencang namun
tertutupi sehingga menimbulkan kesan berdada rata. Sang pria membelai lembut
dan menghisapnya lembut dimulai dari lingkar luar putting, menggodanya, mencoba
menarik jiwanya keluar… Viny menarik kepala pria itu untuk menyantap apa yang
terbaik yang ia bisa dapatkan, dan ketika hisapan itu mencapai puncak putingnya
Viny hanya bisa menengadah menahan geli, gairah dan nafsu yang tiba tiba
membakar dalam dadanya.
Dan Viny melihat dirinya sendiri di cermin seberang
ruangan, dahulu ia melihat dirinya dengan rasa malu, kini… dengan senyum di
bibir karena bahkan yang mengambil keperawanannya secara paksa dan tamu-tamunya
tak pernah memperlakukannya dengan baik, meskipun ada yang sopan, tetapi ia
tetap tak dipandang sebagai manusia setara. Pria itu membuka kemejanya,
menampilkan badan yang sehat meski penuh bekas luka.
Dan kini Viny merasakan tangan sang pria merabai
perutnya, menelusurinya perlahan seolah ingin tahu. Dan menatap wajahnya erat,
Viny mengecup bibir sang pria, “om, thanks, Viny suka banget, pengalaman ya?”
tetapi sang pria hanya menggeleng dengan mata sedih. “ga apa om, sekarang
giliran Viny…” viny membuka kemeja longgarnya dan membiarkan buah dadanya
tergelantung bebas meski tertahan oleh bra-nya yang disingkap ke bawah.
Ia berlutut, namun si lelaki hanya menunjuk dengan
senyum tipis. Dan entah kenapa Viny mengerti, ia membuka kancing jeans yang ia
pakai, menurunkan celana ketat itu namun ketika sudah sampai lutut sang pria
menggeleng. Viny mengerti dan ikut menurunkan celana dalam tipisnya hingga
sebatas lutut. Ia meraih sabuk sang pria, menurunkan celana pantalon mahal itu,
bersama dalaman, dan meraih kelelakian sang lelaki yang…. Berbeda, viny
memandang sang lelaki dan ia hanya mengangguk.
Ketika bibir tipis viny mengecup, ia merasa aneh, dan
memasukkan benda itu kedalam mulutnya, mengisapnya lembut, menimbulkan erangan
tertahan. Viny menarik benda itu keluar dan memasukkannya lagi, mencoba untuk
mengetahui lebih jelas, dan benda itu mengeras seperti batu. Erangan terdengar
dan viny berkonsentrasi, tetapi ia tak tahan untuk melihat sang pria, dan mata
mereka beradu. Dan pria itu membelai rambut viny, dan wajah dengan mulut
tersumpal kelelakian itu tersenyum, mata itu teduh tersenyum. Hanya ada satu
emosi kini yang ada di mata sang pria, kebahagiaan…
Tak lama sang pria menarik viny dan tanpa usaha
menggendong Viny dan menaruhnya lembut diatas Kasur. Mempermainkan rambut Viny
dan berbisik lembut, “kau baik, dan silahkan bilang gombal, tetapi kau cantik,
dan bolehkah aku minta izin menikmati tubuhmu?”
“boleh, om boleh berbuat apa saja.”
Pria itu
mencium bibir viny lembut, dan meraih kewanitaanya. Liang sempit itu
berkeringat kental dan ia memasukinya, lembut, dan halus, seolah memasuki
bangunan yang dikuasai musuh. Dan viny merasakan tiap senti yang termasuki
menjalarkan getar getar keras ke punggungnya. Hingga… stop.
Dan satu satu tusukan lembut semakin cepat menghantami
dirinya, Viny terpejam namun ketika ia melihat sang pria tetap menatapnya ia
membalas, menantangi tatapan itu, mencoba mengalahkan dominasi sang pria.
Tetapi ia tak terlawan dan gelar gairah meledak mengirim sensasi yang membuat
punggungnya melengkung… sang pria memandang dan menjauh membiarkan tubuh
gemetaran Viny dikuasai orgasme hebat.
Viny mencoba menguasai dirinya, dan bangkit, mencoba
melepas seluruh busananya, tetapi sang pria menggeleng, “sudah tidak apa…”
“sekali lagi om?” dan Viny mengambil satu satunya
posisi yang memungkinkan dengan celana yang masih melorot di lututnya.
Menungging, menampilkan kewanitaan merah yang berdenyut. Sang pria mendekat,
dan kali ini memasuki tanpa kelembutan, menghantami dan menyerang. Kedua
tangannya meraih buah dada Viny dan mempermainkannya lembut. Kasar lembut dan
kembali mengirim Viny ke apogia orgasme. Sang pria menggeram hebat. Namun Viny
tahu, dan menghisap lembut kelelakian itu.
Sang pria terkejut mencoba mencabut kelelakiannya dari
dalam mulut Viny, namun lahar itu terlanjur keluar, dan Viny menampungnya
dengan mata terpejam…membiarkan limbah dosa itu tertelan,
Ketika semuanya berakhir, sang pria memandang dengan
mata tak percaya. Dan senyum itu kembali, berbeda dengan acting seperti tadi,
kali ini tulus lembut… dan gadis itu bertanya dengan suara lantang, dan
berbeda, “kak, sudah puas?”
Sang pria mempermainkan ubun-ubun viny dan menciumnya
lemmbut, “terimakasih… kau, hebat…”
Viny tak berkata apapun, memeluk sang pria lembut dan
mendengkur halus.
Sang pria membiarkannya tertidur, namun telepon
genggamnya gemetar, dan ia memandangi layar ponselnya,
PENTAGON…. CALLING….
Sang
pria tersenyum dan melempar ponsel itu hingga berantakan membentur dinding.
No comments:
Post a Comment