Hujan
rintik rintik yang mulai turun dan dimana layar kisah beradu. Gelimpangan
bangkai yang dahulu berwujud manusia berserakan sementara terpandang olehku di
balik kacamata malam. Tidak ada yang bisa diambil lagi disini, tidak ada…
“alps!” seorang pria muncul dari belakang.
Basah dan kedinginan.
“yeps Mayor?”
“status?”
Alps mengeluarkan selembar
kertas bernoda lumpur dan darah kering, membacakannya, “45 local guerilla
tewas, Murshid tewas, Whiskey luka
parah, dia tidak akan bertahan sampai besok, Surya pahanya tertembus peluru, dan
kita tinggal lima orang yang combat effective. Dari pihak gerilyawan tinggal 30
orang, itu termasuk Ratu, dan stafnya.”
Dan aku hanya menghela nafas,
dari 12 orang tinggal lima yang masih efektif. Dan pemberontak kini makin maju.
“beritahu yang lain kita harus mundur.”
“major!”
Aku berbalik dengan kesal,
“kenapa Alps?”
“sang ratu menolak mundur, ia
memerintahkan semua yang terluka untuk mundur, dia tetap bertahan.”
Aku tak berkata apapun, hanya
berjalan, menuju sebuah bunker yang menjadi markas darurat, dimana seorang
gadis menutup luka seorang pria yang juga kukenal. Dua lubang di dada,
tergeletak tak berdaya. “ratu! Mohon izin bicara!”
“mayor, kau bisa bicara… tidak
perlu minta izin.” Sang gadis menutup luka dengan ahli dan membalut dada itu
dgn perban kain yang lusuh, “ini perban steril terakhir yang kita punya. Dan
mereka bilang dia hanya punya waktu sampai nanti malam.” Ia menatap wajah pria
itu yang kehilangan fokus antara sadar dan tiada. “bukankah aku sudah bilang
siapapun yang tersisa untuk mundur dari sini?”
“tidak tanpa engkau ratu..”
jawabku
“yang mereka cari adalah aku.
Jika mereka memastikan aku mati disini kalian bisa hidup tenang. Dan kau mayor,
bisa hidup dan mencari pekerjaan lain.” Sang ratu menatapku pertamakalinya.
Mata kecil itu tetap memandang tulus. Dibingkai dengan wajah tirus berbibir
tipis… kadang tak tersangka ia akan menjadi figur sentral dalam pemberontakan
melawan pemerintah Fasis ini.
“itu saja rat..bukan, Viny? Itu
saja? Kau memutuskan mati? Jadi buat apa mereka bertempur untukmu! Buat apa? teriakku.
Semua wajah memandang…
Sang ratu hanya menunduk, seolah
tak peduli dan menggunting sejumlah perban lainnya, “dan kemudian apa? Aku
memilih tinggal agar kalian bisa hidup! Kalian jauh lebih berarti daripada…” ia
terdiam mengumpulkan kata-kata, “kalian harus hidup, inilah satu satunya
perlawanan ini bisa berlanjut. Aku hanya
simbol, dan kalian adalah nyawa dari pertarungan ini. Aku tinggal agar
kalian bisa melanjutkan ini satu waktu di satu tempat.”
“tapi…”
Viny tersenyum, “pergilah, ini
perintah terakhir dariku.” Dan senyum tulus itu memutuskan semuanya. “ada
beberapa orang yang kupilih untuk tinggal. Pesanku untukmu hanya satu. Jangan
biarkan mereka menangkapku hidup-hidup.” Sang ratu menunjuk telpon satelit yang
tergantung di bahuku, “Protokol Joan of Arc…ingat?”
Ledakan berdentum, diiringi
tempik sorak dan baku tembak menghebat. Sang ratu melambai menyuruhku pergi.
Aku berlalu, namun sebuah tangan mencekalku untuk berlalu pergi, Kolonel
Enrico, ia menyelipkan sepucuk surat di tanganku, “Bilang pada Lidya…” ia
terbatuk,
“ya aku akan katakan padanya. Jangan
khawatir soal Lele juga” Aku mencabut pistol dari sabuk, meletakkannya ditangan
yang tadinya menggenggam surat, “jangan biarkan mereka menangkapmu hidup hidup
kolonel enrico!”
Ia tersenyum lemah, “Der Opresso
Liber!” mengokang pistolnya, dan mencabut baret hijau lusuh dari dalam saku
celananya. Memasangnya untuk terakhir kalinya.
Aku berlalu, menjawab lemah,
“der Opresso Liberte! Pembebas yang tertindas.” Berlari menjauh bersama puluhan
gerilyawan lainnya. Dari sudut mata terlihat tank-tank pemerintah mendekat
tanpa ampun sambil menembakkan meriam dan para prajurit mereka berlari tanpa
mempedulikan perlawanan para gerilyawan.
Di sudut hutan sekitar 8
kilometer jauhnya. aku mencabut telpon satelit. Memutar dial, dan memasukkan
kode. Protokol Joan D’arc… ia seorang gadis yang ditakdirkan melawan
penindasan. Dan mati terbakar api untuk diangkat menjadi malaikat di surga. Ya…
Aku memasukkan kode, dan menekan
tombol merah… “selamat jalan sang ratu…” bisikku sembari mengenang gadis kurus
yang selalu tersenyum walaupun sekeras apapun cobaan menyiksa. Selalu memberi
alasan baginya dan orang yang percaya padanya untuk selalu bertempur.
Telepon satelit tersebut aslinya
adalah suatu detonator..menghubungkan aku dengan sebuah ransel seberat puluhan
kilo yang tertanam jauh dibawah bunker. Begitu perintah diterima, sirkuit
elektronik menyala, mengirimkan sinyal ke belasan detonator yang meledakkan
diri, mengirim impuls ledakan ke lima kilogram isotop plutonium di tengah.
Ledakan itu mengompres plutonium mendekati massa kritis dan ia bereaksi.
Melepaskan jutaan watt energi berupa ledakan, panas dan radiasi sejauh lima
kilometer, menghancurkan apapun yang menghalanginya.
Aku memandang cendawan hitam
itu… dan berlalu, menghapus airmata dan melanjutkan hidup.